Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dunia Masa Depan: Diktator Kognitariat versus Tirani Energi

12 Februari 2025   16:24 Diperbarui: 12 Februari 2025   16:51 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film sci-fi apokalipstik Escape from LA arahan John Carpenter pada 1996 (Sumber: themoviedb.org)

Tulisan ini boleh dibilang analisis geopolitik yang terilhami tilikan dari film fiksi ilmiah keluaran 1996 karya sutradara visioner John Carpenter berjudul Escape from L.A. Ini adalah sekuel dari film Escape from New York pada 1981. Meski film pertama lebih sukses secara komersial maupun kualitas, film kedua-lah yang lebih membekas di ingatan. Akhir atau ending film inilah yang sangat mengesankan sekaligus menggetarkan bagi saya. Bertekad untuk mengakhiri kekuasaan diktatorial presiden AS yang memiliki satelit supercanggih dengan kemampuan melumpuhkan semua teknologi di dunia, karakter utama Snake Pisskin (diperankan oleh Kurt Russell) punya solusi ekstrem. Dia mematikan semua sumber listrik yang ada di dunia, sehingga semua teknologi musnah tanpa tenaga. Sambil mematikan korek api, dia berkata: "welcome to the human race" alias "selamat datang kembali ke ras manusia". Mungkin maksudnya manusia kembali akan menjadi primitif dan harus bertahan hidup dengan sumber daya alakadarnya, sehingga menghapuskan peperangan demi bisa tetap eksis di dunia.

Bacaan saya terhadap film ini adalah refleksi saya terhadap perkembangan pesat teknologi digital saat ini. Orang ramai membicarakan kemunculan teknologi artificial intelligence (AI) DeepSeek yang menantang ChatGPT sebagai tanda pertempuran digital semakin panas. Memang, kemunculan berbagai teknologi AI dengan kecepatan eksponensial sebenarnya mengerikan bagi umat manusia. Teknologi AI akan membuat pengumpulan dan pengolahan algoritma big data kian mumpuni, sehingga manusia bisa saja kesadarannya dikendalikan oleh AI atau minimal segala gerak-geriknya tidak bisa lepas dari pantauan AI. Mirip dengan wawasan futuristik yang diberikan film arahan Tony Scott pada 1998 dengan pemeran Will Smith, The Enemy of the State, di mana pemerintah dengan teknologi digital bisa memantau segala pergerakan sang protagonis, bahkan mengubah dan mengacak-acak data pribadinya seperti kartu kredit, kartu tanda penduduk, dan lain sebagainya.

Dalam istilah filosofis, Michel Foucault dalam The Birth of Prison (1977) menyebut ini sebagai sistem panoptikon yang tekun memantau subjek layaknya tahanan serta mendisiplinkan mereka. Teknologi digital mampu memantau keinginan, hasrat, dan karakter kita lewat pola pemakaian gawai kita serta mendisiplinkan kita dengan mengarahkan kita mengkonsumsi produk yang diiklankan olehnya atau mengikuti opini publik yang didesakkan olehnya ke dalam alam bawah sadar kita. 

Adapun teknologi ini tentu hanya dimiliki dan bisa dikerahkan oleh segelintir elit jenius pakar teknologi. Mereka-lah para elit kognitariat alias pekerja kognitif sebagai perkembangan dari kaum proletariat atau kaum pekerja kasar (proletar). Kemudian, jika Karl Marx membayangkan kaum proletar akan menggulingkan mode produksi kapitalistis demi menciptakan masyarakat utopis tanpa kelas yang dipimpin oleh diktator proletariat, maka kondisi politik global masa depan akan dikuasai oleh diktator kognitariat. Mereka-lah yang akan menjadi triliuner dan dengan keahlian keilmuannya mampu membentuk serta mendisiplinkan massa untuk dikerahkan ke arah yang mereka setir, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, maupun politik. Terciptalah kesenjangan lebar di mana mereka memegang kuasa modal (oligarki modal), kuasa politik (oligarki politik), maupun kuasa budaya (oligarki budaya), sementara massa-rakyat hanya menjadi mainan atau pion belaka.

Namun, kekuatan para diktator kognitariat ini, betapa pun besarnya, tetap tergantung kepada satu hal alamiah yang penting: pasokan energi. Persis seperti film Escape from L.A, tanpa energi listrik, segala teknologi secanggih apa pun akan lunglai tak berdaya. Sementara itu, pasokan energi pemantik listrik masih didominasi batu bara, bahan bakar minyak, ataupun energi alternatif berbasiskan alam seperti jagung, air, dan lain sebagainya. Artinya, diktator kognitariat akan sangat tergantung pada para penguasa energi alias tirani energi untuk memasok bahan bakar. Itulah sebabnya banyak kawasan kaya sumber daya alam seperti Timur Tengah selalu bergejolak dan diperebutkan ladang-ladang energinya. Banyak negara menginginkan lahan energi dan demikian juga perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations/MNCs)

Artinya, mekanisme checks and balances politik global di masa depan adalah antara diktator kognitariat dan tirani energi. Sementara, umat manusia sisanya akan tergencet dan banyak yang kian disengsarakan oleh pertarungan dua raksasa ini. 

Lantas, apakah ada jalan keluar dari peperangan potensial di atas? Setidaknya ada dua cara. Pertama, di tingkat negara, regulasi terkait teknologi digital harus dirumuskan secara lebih komprehensif dan ketat. Negara juga harus memagari lahan-lahan atau sumber-sumber energi mereka secara kokoh. Singkatnya, mempertahankan kedaulatan energi untuk tidak dikuasai tirani energi perusahaan multinasional yang hanya berorientasikan laba.

Kedua, di tingkat individual atau mikro, masyarakat harus mulai mengurangi ketergantungan kepada gawai sehingga tidak gampang dipantau dan didisiplinkan oleh mekanisme panoptikon teknologi digital. Kita bisa belajar dari filsafat transendentalisme Amerika seperti yang diajarkan Henry David Thoreau dalam Walden (1854), yaitu menjalani praktik hidup cukup bersama alam, melepaskan diri pelan-pelan dari ketergantungan terhadap teknologi rekayasa buatan manusia.

   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun