Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Waspada, Blunder Penguasa dan Kesulitan Ekonomi Bisa Memicu Krisis Politik

8 Februari 2025   07:52 Diperbarui: 8 Februari 2025   08:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Democratization from Below yang diangkat dari disertasi Denny JA (Sumber: koleksi pribadi)

Baru 100 hari lebih berlalu pemerintahan Prabowo Subianto, terlepas dari tingkat kepuasan masyarakat yang mencapai 80 persen, sudah terbetik dua peristiwa besar yang memantik kegeraman masyarakat. Kasus pertama adalah ditemukannya pagar laut bersertifikat di Tangerang, mengindikasikan kejanggalan beraroma persekutuan oknum penguasa dan oknum pengusaha untuk mengkomersilkan laut. Kedua, kasus kelangkaan gas elpiji 3 kilogram alias gas melon di masyarakat menyusul larangan pemerintah bagi pengecer atau toko kelontong untuk menjual langsung gas melon ke masyarakat.

Dua peristiwa ini harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera ditangani dan jangan sampai terjadi blunder-blunder berikutnya. Sebab, blunder penguasa secara teoretis merupakan salah satu faktor yang bisa memicu krisis politik.

Dua studi krisis politik

Ada dua studi menarik dari ilmuwan lokal kita tentang faktor-faktor yang bisa memicu krisis politik. Pertama, disertasi Denny J.A di Ohio State University tentang proses reformasi Mei 1998. Dalam studinya itu yang dibukukan menjadi Democratization from Below (Sinar Harapan, 2006), Denny J.A. mengemukakan lima faktor utama di balik pergantian kekuasaan di luar mekanisme pemilu, yaitu: krisis ekonomi yang memicu demonstrasi massa, keberadaan pengusaha politik yang menyebarluaskan ide akan perubahan, perpecahan di antara elit, konflik antara pemimpin sipil dan panglima militer, serta kesalahan atau blunder terakumulasi dari penguasa

Kedua, studi Salim Said tentang kestabilan demokrasi di empat negara---Thailand, Mesir, Korea Selatan, dan Indonesia---berjudul Ini Bukan Kudeta (Mizan, 2018). Di situ, Salim Said mengajukan empat faktor yang bisa merontokkan suatu sistem demokrasi sekaligus upaya pembangunan ekonominya, yakni keterbelahan masyarakat akibat tiadanya masyarakat madani yang kuat, terkonsolidasinya kekuatan-kekuatan yang pro-status quo, kurangnya keberanian dari elit politik untuk memanfaatkan dukungan rakyat, dan kurangnya pelembagaan atau institusionalisasi nilai-nilai demokrasi.

Jika kita ambil irisan dari dua studi di atas, bisa dikatakan bahwa prospek gonjang-ganjing atau krisis politik di suatu negara akan besar apabila rakyat secara luas mengalami kesulitan ekonomi, adanya konflik sipil-militer, rezim pemerintahan yang tidak responsif dan peka terhadap realitas hidup masyarakat di lapangan, serta absennya masyarakat sipil yang kuat akibat tidak terhayati serta terlembaganya nilai-nilai demokrasi di suatu negara.

Jika kita melihat kerangka teoretis di atas, rangkaian tindak-tanduk berbagai lembaga negara belakangan ini bisa ditafsirkan sebagai kesalahan terakumulasi penguasa jika tidak dikelola dengan baik. Di luar kasus pagar laut dan kelangkaan gas melon, kebijakan DPR yang membuat Tata Tertib untuk bisa me-recall pejabat pilihannya seperti Panglima TNI, Kapolri, hakim MK, dan lain sebagainya adalah blunder yang menciderai prinsip checks and balances dalam demokrasi. 

Kemudian, pengenaan pajak onsen dan kenaikan harga bahan pokok ikut menambah beban ekonomi. Belum lagi jika pemerintah benar akan menaikkan iuran JKN BPJS Kesehatan menyusul pernyataan petinggi BPJS Kesehatan terkait potensi defisit.

Oleh karena itu, pemerintah jangan sampai terlena hanya karena mayoritas partai politik berada di belakangnya berdasarkan prinsip "politik tidak memukul, semua dirangkul" dan karena minimnya oposisi. Sebab, minimnya oposisi berarti minimnya kritik berkualitas secara formal di parlemen dan itu akan menurunkan indeks demokrasi. Maka itu, alarm dari berbagai studi yang ada mesti melecut tekad pemerintah untuk mendengar aspirasi rakyat secara lebih responsif sekaligus menghindarkan negeri ini dari potensi krisis politik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun