Pluralisme adalah suatu istilah yang tren di dunia modern saat ini. Pluralisme tampaknya dipromosikan sebagai salah satu sarana utama untuk membendung radikalisasi agama. Padahal, pluralisme sebagai suatu paham saja tidaklah lepas dari problem. Pasalnya, secara filosofis pluralisme itu sebangun dengan toleransi ekstrem, yang ironisnya malah bisa berujung pada sikap intoleran terhadap mereka yang tidak sepaham dengan konsep toleransi ekstrem tersebut.
Mari kita lihat empat elemen pluralisme keagamaan sebagaimana diuraikan Diana Eck (dalam Craig Considine, Muhammad Nabi Cinta, Serambi, 2018): keterlibatan energik dengan keragaman, pemahaman mengenai tradisi-tradisi keagamaan, masuknya komitmen, dan dialog antariman. Di sini, salah satu elemen yang bisa kita kritisi adalah elemen pemahaman, yang berbeda dari pengetahuan. Kata 'pemahaman' mengesankan bahwa seseorang harus membenarkan pendirian teologis orang lain yang berbeda. Singkat kata, pluralisme seakan mempromosikan penyamarataan semua agama. Padahal, ada aspek-aspek keagamaan yang memang berbeda dan sulit didialogkan. Aspek-aspek itu cukup dihormati saja, tidak perlu dibenarkan. Â
Dalam konteks Islam, misalnya, Ahmad Syarif Yahya dalam Ngaji Toleransi (Quanta, 2017) berpendapat bahwa seorang Muslim harus total meyakini kebenaran ajaran agamanya. Meski itu berarti meyakini kesalahan agama lain, Islam mengajarkan untuk santun dengan mengatakan "bagimu agamamu". Dengan kata lain, Islam meyakini pluralitas, bukan pluralisme. Artinya, seorang Muslim mestilah mengakui realitas kemajemukan agama di dunia, menghormatinya, tapi dengan sembari tegas menyatakan posisi keimanannya bahwa baginya Islam adalah agama yang paling benar.
Kita juga harus ingat bahwa secara filosofis, kepercayaan terhadap agama itu tidak sekadar memerlukan bukti-bukti logis rasional, tapi lebih melibatkan apa yang disebut filsuf Denmark Soren Kierkegaard sebagai "lompatan iman'. Tindakan "melompat" itu adalah suatu keniscayaan karena manusia sebagai makhluk subjektif yang terbatas berupaya mendekat kepada Tuhan sebagai Realitas Absolut (lihat Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, KPG, 2019).
Jadi, iman dalam kadar tertentu mengandung sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan hanya bisa diyakini. Konsekuensinya, pluralitas agama adalah suatu keniscayaan dan kita hanya perlu menghormati keberadaan keyakinan yang berbeda itu, tanpa perlu ikut-ikutan menyetujui doktrin-doktrin keyakinan yang tidak kita anut tersebut. Pemahaman bahwa semua agama itu sama malah akan melahirkan fenomena relativisme agama yang bisa jadi akan mengaburkan esensi beragama dan keimanan itu sendiri.
Memang, konsep "lompatan" ini pernah dikritik oleh sastrawan sekaligus filsuf Albert Camus. Bagi Camus, konsep "lompatan" sejatinya menandakan ketidakberanian manusia untuk menghadapi Yang Absurd. Gamang karena mengetahui dunia itu absurd dan seakan tidak punya tujuan, manusia yang tidak punya jiwa pemberani kemudian memilih melarikan diri dari Yang Absurd dengan melompat ke suatu keyakinan (Mite Sisifus, Gramedia, 1999). Ekstrem lain dari ketakutan menghadapi Yang Absurd adalah bunuh diri atau nihilism nilai yang membuat manusia merasa bebas melakukan kejahatan. Maka itu, Camus menyarankan sikap memberontak sebagai sikap pemberani untuk melawan Yang Absurd. Ibaratnya, "saya memberontak, maka saya ada."
Namun, terlepas dari kritik Camus itu, tetap kita seyogianya mengakui bahwa "lompatan" iman adalah bentuk ikhtiar  eksistensialisme manusia juga. Beragama asalkan dilakukan secara kritis dan liberatif adalah tindakan aktif juga serupa pemberontakan. Hanya saja, arah "lompatan" itu berbeda-beda tergantung pada apa yang disebut Mark Manson sebagai "Otak Perasa" alias intelek intuitif manusia yang lebih mengendalikan sikap manusia ketimbang "Otak Berpikir (Segala-galanya Ambyar, Grasindo, 2019).
Dengan kata lain, terlepas dari kemasan niat mulianya, pluralisme agama justru mengandung bahaya relativisme nilai yang bisa menghakimi orang yang tidak menganutnya (kalau tidak pluralis sesuai pluralisme berarti tidak humanis). Akibatnya, pluralisme malah mengeras menjadi ideologi sesuai dengan akhiran 'isme' di belakangnya. Pluralisme tidak lagi plural, bahkan intoleran karena menolak yang berbeda dengannya. Singkat kata, pluralitas-lah, bukan pluralisme, yang harusnya diadopsi oleh umat manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI