Terlepas dari banyak kritik terhadap kualitas demokrasi sekarang ini di Indonesia, tak bisa dimungkiri bahwa pemerintahan berjalan stabil. Koalisi partai politik (parpol) pendukung presiden relatif solid dan mendukung kebijakan pemerintah. Sebenarnya ini mengejutkan karena berbeda dengan kondisi koalisi parpol zaman pemerintahan SBY Jilid II bersama Wapres Boediono (2009-2014). Kala itu, meskipun pemerintah berhasil merangkul dukungan mayoritas parpol lebih dari 70 persen kursi DPR (minus PDIP, Hanura, dan Gerindra), kebijakan pemerintah malah sering ditikung dan dikecam keras oleh parpol anggota koalisi itu sendiri, seperti Golkar dan PKS. Bahkan, DPR yang didominasi koalisi pemerintah sempat ingin memakzulkan Wapres Boediono karena skandal Bank Century. Akibatnya, situasi politik kerap gaduh.
Saat ini, di situasi serupa ketika Presiden Prabowo Subianto memiliki koalisi lebih tambun dibandingkan SBY---hanya PDIP yang tidak bergabung dalam koalisi---mayoritas kebijakan pemerintahan Prabowo selama 100 hari ini berjalan relatif lancar. Â
Konteks di atas tambah menarik karena membantah tesis Scott Mainwaring dalam artikel jurnal ilmiah "Presidentialism, Multipartism, and Democracy" (1993) bahwa pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan hal yang sulit dan dilematis, sesuatu yang sebenarnya terbukti di era SBY -- Boediono dan di awal masa pemerintahan Jokowi -- Jusuf Kalla. Maka, menganalisa kesolidan koalisi multipartai pemerintahan Prabowo-- Gibran saat ini akan menjadi kontribusi teoretis bagi strategi pengelolaan koalisi.
Tiga faktor
Setidaknya ada sejumlah faktor yang berperan menyumbangkan kesolidan koalisi multipartai pendukung pemerintahan di era Presiden Prabowo. Pertama, gaya kepemimpinan personal Presiden Prabowo sendiri yang akomodatif, rekonsiliatif, dan menghindari konflik (conflict-avoidance). Misalnya, Presiden Prabowo dengan rileks merangkul seterunya di pilpres, Muhaimin Iskandar, ke dalam jajaran kabinet. Â
Namun faktor ini saja tidaklah cukup dan signifikan. Pasalnya, Presiden SBY di masa kedua pemerintahannya juga tak kalah akomodatif. Buktinya, Partai Golkar yang dulunya bukan merupakan mitra koalisi pendukung SBY -- Boediono dirangkul juga masuk ke dalam kabinet, meski pada akhirnya itu tetap tidak memengaruhi kelantangan partai beringin tersebut mengkritik pemerintah dengan berlindung di balik alibi sebagai "mitra kritis." Â
Kedua, adanya konvergensi (titik temu) antara kepentingan pemerintah dan kepentingan parpol membuat parpol dengan senang hati gigih membela kebijakan pemerintah. Ambil contoh kepentingan parpol untuk memasukkan anggotanya ke dalam kabinet tentu bersinggungan dengan kepentingan pemerintah membuat stabil politik demi memuluskan pembangunan ekonomi. Dalam istilah disertasi Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai Indonesia (Mizan, 2014), pertautan kepentingan ini adalah wujud dari salah satu faktor penguat koalisi presidensial berupa demokrasi konsensus, yang definisinya adalah "sebuah rezim demokratis yang menekankan konsensus ketimbang oposisi, merangkul ketimbang mengeluarkan."
Ketiga, pemerintahan Prabowo memiliki jargon keberlanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang digawangi Presiden Joko Widodo. Faktor keberlanjutan ini menciptakan zona nyaman untuk para anggota koalisi karena arah besar kebijakan dapat diprediksi, sehingga partai tidak perlu lagi menunjukkan dinamika tinggi dalam berkoalisi. Keberlanjutan ini dibuktikan secara konkret oleh Prabowo ketika banyak anggota kabinet ataupun pendukung Joko Widodo yang dibawa (carry over) ke pemerintahan beliau, seperti Sri Mulyani, Pratikno, Luhut Binsar Panjaitan, Muhaimin Iskandar, Arie Budi, Ebenezer, Raja Juli Antoni, dan lain sebagainyaÂ
Jadi, jika diringkas, tiga faktor berupa gaya personal kepemimpinan seorang presiden, pertemuan kepentingan politik presiden dengan parpol (demokrasi konsensus), dan keberlanjutan dari pemerintahan sebelumnya akan menentukan derajat kesolidan suatu koalisi multipartai pendukung pemerintah.
Â