Sebersit Harapan di Hari Fitri
Oleh: Suyito Basuki
Kereta Argo Bromo Anggrek yang kami tumpangi sudah sampai Kendal, sebentar lagi akan sampai di Semarang, kota tujuan kami. Â Udara dinihari ditambah hawa dingin AC membuat tubuh agak menggigil. Â Aku mengetatkan jaket yang kupakai, sementara Aryo yang duduk di sampingku tertidur sejak berangkat dari Jakarta tadi malam. Â
Beberapa kali kulihat wajah Aryo, seorang pengusaha muda yang membawaku ke Semarang untuk diperkenalkan kepada orang tuanya. Â Sebenarnya bukan dibawa, tetapi tepatnya aku disewa dengan disuruh mengaku bahwa aku adalah pacar Aryo. Â
Orang tua Aryo sudah berkali-kali minta supaya Aryo mencari pacar, calon istri dan mereka berpesan supaya Lebaran tahun ini Aryo pulang ke Semarang dengan membawa calon menantu bagi ayah dan ibunya.
"Hanya sebatas mengaku saja lho ya, tidak melakukan apa-apa," demikian kataku kepada Lusi yang memberikan pekerjaan itu kepadaku.
"Iya nona manis, kamu hanya mengaku saja sebagai pacar Aryo. Â Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang," kata Lusi saat menawarkan job itu kepadaku. Â Aku diminta dua hari menemani laki-laki muda yang bernama Aryo ini selama 2 hari mudik ke Semarang. Â
Untuk hal ini aku dibuatkan semacam skenario, jika nanti orang tua Aryo bertanya begini, aku harus menjawabnya begitu. Â Selebihnya diminta diam saja, tidak boleh bertanya ini dan itu. Â Oleh Lusi aku juga diberi tahu nama kedua orang tua Aryo dan kedua adik perempuan Aryo yang bernama Gones dan Vena.Â
Lusi mewanti-wanti aku supaya bersikap lembut di hadapan orang tua Aryo dan mengusahakan diri agar ringan tangan saat di dapur untuk menunjukkan diriku sebagai calon menantu yang prigel, luwes dan cekatan dalam urusan pekerjaan wanita.
"Lalu kalau orang tuanya bertanya kapan kami akan menikah, aku harus jawab bagaimana?" Tanyaku pada Lusi saat nanti tiba di bagian sulit ini.