Dalam satu masa setelah prosesi wisuda, kehidupan seakan ingin "bermain" dan berkomedi" dengan segudang premis dan konklusinya. Dunia seakan memberikan jeda yang panjang seolah hening tapi bukan berisi kedamaian. Inilah yang ingin penulis gambarkan; life after graduate yang juga penulis alami sendiri. Pintu di mana orang-orang akan memasuki realitas yang tidak ditemukan di ruang kelas, fase di mana bagaimana survive di tengah ketidakpastian dan mencari arah.
Secara umum, life after graduate biasanya akan bergelut dengan stigma dan dialektika sosial. Â Keluarga, teman, bahkan tetangga menjadi aspek dalam konstruksi dialektik dalam fase ini. Atau sederhananya dapat dikatakan, secara simbolik dunia berada di ujung telunjuk. Menuding fase hidup dari pencapaian orang lain meliputi pekerjaan dan keberuntungan dengan realita kita hari ini yang masih struggle.
Jika orang bertanya telunjuk siapa? Telunjuk orang-orang yang bertanya, "Kerja di mana sekarang? liat si A Â sudah ada gaji dan hidup enak" Telunjuk yang bertanya, "Itu si A sudah jadi PNS, kamu kapan?" Bahkan telunjuk orang terdekat yang berkata dengan mudahnya, "Wah, kalau kerja di situ sih... nggak sayang ijazah?"
Mereka tidak paham dan belum sadar, telunjuk yang awalnya jari biasa berubah menjadi simbol tekanan sosial bagi sebagian orang. Ini bukan untuk memberi arah, tapi cenderung menilai, membandingkan, dan sering kali menyakiti mental secara tidak langsung.
Dialektika Sosial yang Mengusik
Menuru penulis life after graduate menjadi fase transisi yang pelik. Banyak lulusan sarjana merasa seperti berjalan di atas pasir hisap: lambat bergerak, penuh tekanan, dan semakin dalam saat berusaha keluar. Dialektika sosial dalam hal ini menimbulkan berbagai respon berbeda; misalnya ketidaknyamanan, tersinggung, mengusik, bahkan membuat mereka terasa asing di lingkungannya sendiri. Alih-alih ingin membangun progres, mereka terus dihadapkan pada kondisi yang sama namun dibawakan oleh orang yang berbeda; basa basi yang sudah basi.
Orang-orang ini secara sadar atau tidak, membangun narasi ideal yang sering kali tidak sesuai dengan progres yang sedang dibangun, bahkan mereka kadang menghakimi seolah merasa paling paham. Ada semacam ekspektasi kolektif bahwa setelah kuliah harus langsung bekerja, penghasilan stabil, dan mulai "mengembalikan" investasi pendidikan yang sudah dikeluarkan keluarga.
Sekarang mari berbicara realita, tidak semua lulusan baru mempunyai privilege; relasi yang luas, akses informasi, atau bahkan keberuntungan. Ada yang harus berkali-kali gagal wawancara. Ada yang mengandalkan pekerjaan serabutan agar dapur tetap mengepul. Ada pula yang sedang memutar arah karena kenyataan belum seperti harapan. tapi ini bersifat sementara, di balik semua itu ada gagasan dan langkah yang tengah disiapkan. Orang lain tidak akan paham bagaimana terjalnya jalan yang sedang dilalui, mereka hanya penonton, kitalah pejuangnya.
Di sinilah dialektika sosial terjadi; masyarakat dengan segala keinginannya untuk "membantu" sering kali tidak sadar bahwa mereka sedang menciptakan tekanan mental. Misalnya nasehat yang tidak diminta, perbandingan yang tidak relevan, hingga komentar-komentar sarkastik menjadi makanan sehari-hari. Semua seolah punya hak bicara tentang jalan hidup orang lain.
Dua Luka