Mohon tunggu...
Suviyanti 'Story Box'
Suviyanti 'Story Box' Mohon Tunggu... -

Ini hanya coretan kecil

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Just Wonder, If...

13 Maret 2013   05:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:52 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenang kembali kali pertama dibelikan handphone oleh papa dan mama saya, kira-kira sekitar kelas 4 SD. Saya masih ingat tipe-nya, Nokia 3315.

Itu handphone pertama yang bisa saya bawa ke sekolah, di saat handphone monophonic macam begitulah yang menjadi ‘trend setter’ di kalangan anak-anak SD yang polos-polos itu. Saat itu, punya handphone Nokia 3310 atau 3315 rasanya sudah sangat ‘up-to-date’, meskipun yang saya ingat hanyalah kontak telepon rumah, mainan Snake (ular-ularan), dan paket sms-an. Tapi, tetap saja ada rasa bangga atau senang ketika setiap pagi bisa ‘kepo’ bersama teman-teman sambil memegang handphone itu, entah sekedar bertukar nomor telepon, atau apa sajalah.

Mendapatkannya juga butuh perjuangan keras untuk ukuran saya di masa SD, saya harus masuk ke peringkat tiga besar di sekolah, baru papa dan mama mau membelikan handphone itu. Saya juga sangat gigih untuk mendapatkannya, lantaran “gengsi kelas teri” yang masih dan akan terus ada di benak setiap anak SD – kalau dia punya, aku juga harus punya!

Padahal, hanya beberapa tahun sebelumnya, ketika masih di TK, setiap pagi berangkat sekolah, saya cuma punya kesenangan dan semangat untuk perosotan dan ayunan yang siap saya mainkan sebelum bel masuk berbunyi. Belum sempat terpikir gengsi seperti saat trend handphone mulai mencuat. Kalaupun sistem ‘reward and punishment’ sudah dibudayakan sedari saya TK, yang saya ingat juga sebatas piala juara kelas yang sering dipajang di rumah oleh mama. Naik ke SD pun (sebelum trend handphone bermunculan), saya cuma minta mainan masak-masakan atau boneka-bonekaan sebagai hadiah saat kenaikan kelas.

Tapi, ketika handphone-pun mulai masuk ke lingkungan anak SD, saya ikut-ikutan ngotot untuk memilikinya. Dari sanalah, pertama kali saya kenal sistem SMS-an. Sebelumnya, untuk menghubungi teman yah lewat saluran telepon rumah, dengan gaya bahasa yang saya hafal mati sebelum terhubung dengan teman : “Selamat siang, Tante. Saya Suvi temannya A. Bisa berbicara dengan A?” kemudian, seakan ditahan-tahan, saya ditanyai dulu sejubel pertanyaan mengapa menelepon. Malah pernah, suatu malam yang begitu ‘urgent’ buat saya untuk mengabari seorang teman tentang tugas di keesokan harinya, malah saya dimarahi oleh mamanya karena menelepon di jam malam (saat itu sudah jam 9 malam). Yah, nasib.

Untungnya, ketika handphone mulai dimiliki semua teman, kami bebas ber-sms-an ria mulai dari hal-hal pelajaran sampai curhat! Dan tanpa disadari, budaya pun ikut berubah!

Terkoneksi dengan teman via handphone bagaikan kebutuhan yang mulai melekat dan mendasar untuk saya (dan mungkin generasi kita sekarang). Telepon dan sms-an, ini mungkin basic dari platform-platform teknologi yang sekarang banyak bermunculan menjadi gaya hidup, mulai dari chatting, bbm-an, skype, dan lainnya.

Dan hari ini, 10 tahun sudah berlalu semenjak handphone pertama yang saya miliki, alat komunikasi ini terus berinovasi semakin canggih. Semakin banyak platform-platform teknologi komunikasi yang bermunculan memenuhi kebutuhan dan lifestyle kita, hanya dengan satu alat saja kita bisa “berkeliling dunia”. Seakan membenarkan ramalan Mc.Luhan tentang The Global Village, kita semakin terkoneksi dengan mudahnya dengan orang-orang di seluruh dunia.

Betapa cepat dan ketat perkembangannya, dan seakan kita harus terus mengikuti langkah dan larinya agar tidak ketinggalan zaman!

Malam ini, hanya sekedar teringat masa-masa kebelakang dan perkembangan yang terjadi, dan sejenak membayangkan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun