Mohon tunggu...
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Budiharto Mohon Tunggu...

Membaca dunia, lalu menulis dan melukiskan hidup:\r\n\r\nsutrisno.budiharto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Putusan MK Lahirkan “Darurat Pemilu”?

24 Januari 2014   03:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:31 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13905104311704259174

[caption id="attachment_307915" align="aligncenter" width="778" caption="foto: dokumen pribadi"][/caption]

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian judicial review UU 42 Tahun 2008 yang diajukan Effendi Gazali, tampaknya membuat pelaksanaan Pemilu 2014 dalam kondisi ‘darurat’. Kenapa demikian? Walau MK mengabulkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) digelar serentak, hal itu belum dilaksanakan tahun 2014 ini, tapi baru dilaksanakan tahun 2019 nanti. Hal ini dapat membuat publik meragukan legalitas Pemilu2014 dan berpotensi meningkatkan golput jika Pemilu 2014 dipaksakan dengan aturan lama.

Seperti diberitakan berbagai media, uji materi (judicial review) UU 42 Tahun 2008 diajukan oleh Effendi Gazali akhirnya ada yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang dikabulkan MK adalah untuk uji materi pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal 14 ayat (2), serta pasal 112 UU 42 Tahun 2008. Hanya saja, mengenai pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang digelar serentak, menurut MK, baru dilaksanakan mulai 2019 nanti [kompas.com].

Putusan MK tersebut akhirnya menimbulkan reaksi bermacam-macam dari kalangan partai politik. Bermacam-macam juga reaksi yang muncul dari masyarakat umum. Salah satunya ada yang menyoal kejanggalan sikap MK yang dinilai terlambat menetapkan keputusan atas judicial review UU 42 Tahun 2008 yang diajukan Effendi Gazali [ Kronologi Pemilu Serentak: Menyibak Motif Dibalik Putusan Misterius MK; Iskandar Zulkarnaen ]. Sementara Calon Presiden dari Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang juga mengajukan uji materi UU Pilpres Pasal 3 ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 [ 13 Desember 2013 ], justru terkesan menjadi ragu “Kini saya sedang pertimbangkan, apakah saya akan meneruskan permohonan saya atau tidak. Saya akan ambil keputusan setelah menimbang-nimbangnya dengan seksama,” kata Yusril dalam Kompasiana [23 Januari 2014].

Menurut penulis, kalau pasal UU Pilpres yang dimohon uji materi telah dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, Yusril Ihza Mahendra mestinya tidak boleh mundur dari permohonan uji materi serupa yang diajukan ke MK 13 Desember 2013.

Kenapa penulis mendukung langkah Yusril untuk maju terus? Setidaknya ada dua alasan yang mendasarinya, yakni;

Pertama; Kinerja KPU Meragukan: Kinerja KPU sejak awal tahapan Pemilu 2014 lalu terdapat indikasi kurang baik dan kurang konsisten. Dalam menerbitkan peraturan untuk Pemilu 2014, KPU sering melakukan revisi aturan dan tidak konsistensi dalam pemberlakukan aturan yang dibuatnya sendiri (contoh verifikasi partai politik dengan menggunakan system eletronik-online). Memurut catatan penulis, Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2012 Tentang Tahapan Pemilihan Umum sudah diubah sebanyak tujuh kali sedang Peraturan KPU Nomor 08 Tahun 2013 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah diubah dua kali. Inkonsistensi KPU itu akhirnya menimbulkan banyak protes dangugatan hukum pada awal 2013 lalu. Di sisi lain, pada Pemilu sebelumnya dan Pemilu 2014 ini ada lembaga asing yang terlibat dalam kerja-kerja KPU. Keterlibatan lembaga asing dalam KPU ini juga sempat menimbulkan protes dari koalisi LSM pada awal tahapan Pemilu 2014 lalu. Jadi sangat tepat jika Yusril berupaya melakukan pembenahan dalam aturan hukum yang dipakai pelaksanaan Pemilu (Pileg dan Pilpres).

Kedua; Hasil Demokrasi Pasca Reformasi Belum Memiliki Arah yang Jelas: Jika mencermati hasil Pemilu (Pileg dan Pilpres) selama masa reformasi ini belum membawa hasil positif yang signifikan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat. Jika menyimak isi UUD 1945, Indonesia ini menganut demokrasi sosialis. Namun proses pengelolaan negara yang terjadi pasca reformasi ini menganut system liberal. Wajar saja, jika Anhar Genggong (sejarawan) pernah menengarai adanya kekacauan demokrasi di Indonesia [Kompas, 17/07/2008]. Pendek kata, demokrasi hasil reformasi selama ini hanya terlihat “serius” dalam “demokrasi prosedural” saja (salah satunya dalam bentuk Pileg dan Pilpres), tapi substansi demokasi dalam mendistribusikan sumber daya negara untuk kesejahteraan rakyat masih dalam tanda tanya besar.

Pemilu Ditunda atau Golput?

Karena itu, lebih baik Pileg dan Pilpres dilaksanakan tahun 2014 juga tapi harus disertai dengan “penertiban” hukum yang dipakai dasar penyelenggaran Pemilu 2014. Kalau toh Pemilu 2014 harus ditunda sepertinya bukan menjadi persoalan krusial sepanjang penataan hukum itu dilakukan dengan cermat dan ada kedewasaan dalam berdemokrasi dari kalangan elit politisi. Kalau dasar hukumnya sudah jelas dan tegas, praktik pelaksanaan Pemilu setidaknya dapat berjalan dengan aman. Namun, kalau Pemilu 2014 dipaksakan dengan aturan lama (sebelum keluarnya putusan MK atas uji materi Effendi Gazali), dikhawatirkan hasilnya kurang baik. Boleh jadi, angka golongan putih (golput) akan naik jika Pemilu 2014 dipaksakan dengan aturan lama.

Di sisi lain, adanya kevakuman hukum pasca keluarnya putusan MK atas uji materi Effendi Gazali tersebut, dapat menciptakan kerawanan pada Pemilu 2014 nanti. Jika kevakuman hukum akhirnya menimbulkan konflik antar partai politik pada Pemilu 2014, maka masyarakat pemilih yang akan dirugikan kembali. Kondisi ini jelas berpotensi dapat membuat masyarakat menjadi ‘malas’ mengikuti Pemilu 2014. Jika Pemilu 2014 rawan konflik dan masyarakat jadi ‘malas’ ikut memilih bukankah kondisi ini pantas disebut “darurat pemilu”?

Semoga saja catatan ini menjadi perhatian para pihak terkait, baik itu penyelenggara Pemilu 2014 maupun para peserta Pemilu 2014.[@SutBudiharto]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun