[caption id="attachment_317836" align="aligncenter" width="596" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 menyebutkan alasan mengapa pemilu serentak tak mungkin dilaksanakan tahun 2014 ini. Pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca di halaman 85 dst putusan perkara ini. Disebutkan, seluruh aturan hukum menyangkut pelaksanaan pileg dan pilpres telah dibuat dan diimplementasikan. Begitupun jadwal tahapan pelaksanaan pemilu telah pula dimulai. Sehingga jika pemilu serentak dilaksanakan tahun 2014 akan berakibat terganggunya tahapan pemilu, terutama karena kehilangan dasar hukum. Jika dasar hukum pileg dan pilpres dalam UU dinyatakan inkonstitusional sejak 2014 maka akan terjadi kevakuman hukum. Tak ada lagi dasar hukum pelaksanaan pemilu 2014. Padahal, Pasal 22E Ayat (6) UUD 1945 tegas menyatakan "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang." Maka, solusinya, dengan menunda akibat hukum putusan hingga batas waktu yang wajar, yakni 2019. Menurut penalaran yang wajar tak mungkin dapat menyelesaikan perubahan undang-undang, sebagai dasar hukum pelaksanaan pemilu serentak tersebut, dalam jangka waktu yang tersisa. Taroklah putusan MK ini dibacakan bulan Maret 2013 sekalipun tetap tak memadai waktu yang tersisa untuk perubahan undang-undang. Pasalnya, awal April 2013 tahapan pemilu harus sudah dimulai. KPU telah menetapkan jadwal pileg dimulai tanggal 6 April 2013 yaitu pendaftaran calon anggota DPR-RI, DPD-RI, dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keliru pendapat yang menyatakan pemilu serentak cukup dengan dasar hukum putusan MK tersebut. Sebab, sudah jelas-jelas UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut pemilu diatur dengan undang-undang. Sehingga jika pemilu serentak tidak/belum diatur dengan undang-undang tapi sudah langsung dilaksanakan begitu saja  maka justru akan bersifat inkonstitusional. Bertentangan dengan UUD 1945. Tentunya akan ada yang mempertanyakan, mengapa putusan MK yang menyatakan inkonstitusional suatu undang-undang ditunda masa berlakunya hingga 2019 (tidak langsung berlaku saat dibacakan, 2014)? Jawabnya, hal ini tidak menyalahi aturan hukum apapun. MK sudah biasa menunda pelaksanaan akibat hukum dari suatu putusan. MK menyebut sebagai contoh Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, yang menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) harus dibentuk dengan undang-undang sendiri paling lambat tiga tahun sejak putusan MK tersebut dikeluarkan. Disamping itu, MK berpendapat diperlukannya waktu yang cukup untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik bagi warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan. Penulis berpandangan, adalah keliru pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kevakuman hukum pileg dan pilpres 2014 akibat penundaan berlaku putusan hingga 2019. Di sini tidak ada kevakuman hukum apapun. Karena jelas dan tegas MK menyatakan putusannya berlaku untuk pemilu 2019 dan pemilu seterusnya. (Sutomo Paguci)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI