Juliana Marins (RIP) jatuh hari Sabtu (21/6/2025). Baru bisa dievakuasi hari Rabu (25/6/2025). Secara faktual, harus diakui memang lambat. Tapi kelambatan ini bisa dimaklumi bila menimbang sulitnya medan dan cara penyelamatan yang konvensional.
Karena itu, kerja keras Basarnas dan relawan yang mempertaruhkan nyawa tetap patut diapresiasi.
Hanya pertanyaannya, ke mana anggaran triliunan Basarnas itu? Tak adakah sedikit untuk beli peralatan canggih setidaknya tali karmantel yang panjang sehingga tak perlu penyambungan?
Anggaran Basarnas 2024 sebesar Rp 1,4 triliun. Tahun 2025 turun jadi Rp 1,011 triliun. Tetap triliunan loh. Masa untuk beli tali saja tak ada?
Kinerja Basarnas perlu menjadi titik fokus. Sebab, tanggung jawab pencarian dan pertolongan ada pada mereka. Bukan pada relawan!
"Negara bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pencarian dan pertolongan. Penyelenggaraan pencarian dan pertolongan dilaksanakan oleh pemerintah," tegas Pasal 5 UU No 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan.
Atas dasar itu, Basarnas boleh dikritik dan disalahkan, karena pencarian dan pertolongan memang pekerjaannya dan mereka digaji negara lewat pajak masyarakat.
Berbeda potensi SAR dari unsur masyarakat atau relawan (komunitas, guide, porter dll) tidak sepantasnya disalahkan. Namanya saja "relawan".
Keluarga korban dan masyarakat patut berterima kasih pada relawan. Mereka tulus ikhlas, tanpa berharap imbalan, mempertaruhkan nyawa, tapi lebih gesit dari Basarnas!
Ini ironis. Bagaimana mungkin Basarnas, yang punya anggaran triliunan, harusnya punya peralatan lengkap, dan dianggap terlatih (harus terlatih dong), tapi kalah gesit dibanding relawan dari unsur masyarakat?