Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Antitesis Talibanisme, Kunci Melawan Radikalisme di Indonesia

25 Agustus 2021   18:20 Diperbarui: 25 Agustus 2021   18:27 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Taliban (AP PHOTO/RAHMAT GUL)

Inti Talibanisme dan ideologi radikalis lainnya serupa, yakni, ideologi tertutup, ekslusif, dan intoleran. Antitesisnya adalah ideologi terbuka, inklusif, dan toleran. Sesederhana itu. Siapa yang dominan maka dialah pemenang.

Negara yang demokratis, kehidupan warga yang liberal dan sekuler adalah racun mematikan bagi Talibanisme. Makin sempurna bila sebuah negara dihuni oleh mayoritas non-muslim.

Dalam negara dan masyarakat demikian, penganut Talibanisme akan mati kutu, mati gaya, terlihat aneh sendiri, terkucil, dan sulit hidup dalam masyarakat demikian. Contohnya di Eropa dan Amerika.

Maka, pengusung ideologi tertutup Talibanisme menempuh perjuangan menyebarkan paham/ajaran di negara-negara mayoritas muslim seperti Indonesia, Malaysia, dll. Mesti di negara mayoritas muslim, mustahil di negara mayoritas penganut Kristen.

Harapannya, pada tahapan akhirnya seperti di Suriah, Afganistan, dan Libia. Setelah paham tertutup itu diikuti banyak warga, saatnya perebutan kekuasaan politik dilakukan. Bukan soal siapa yang menunggangi siapa.

Dengan segala cara mereka menanamkan paham ke dalam benak warga bahwa nasionalisme tidak ada dalilnya, demokrasi adalah ideologi thogut, wanita jadi objek seks, liberalisme dan sekulerisme adalah ajaran setan, dan seterusnya.

Saat ini sebenarnya mayoritas muslim Indonesia tanpa sadar sudah menganut paham Talibanisme. Survei menyebutkan, 59,1 persen muslim Indonesia intoleran benci dipimpin oleh pihak yang berbeda agama (Lembaga Survei Indonesia, 2019). Ini sinyal awal.

Orang kalau sudah intoleran, di otaknya sudah terpasang pelatuk pemicu dengan sumbu pendek. Tinggal ditekan langsung meletus. Mereka sel tidur teroris. Tinggal tunggu momentum seperti di Marawi, Filipina, 2017.

Identifikasi pendukung Talibanisme di Indonesia sangat mudah. Semua pendemo berjilid-jilid yang membawa bendera hitam putih mirip bendera Taliban adalah penganut Talibanisme. Tanpa kecuali. Mudah bagi aparat kalau mau menggulungnya.

Selebihnya, para pengamat pragmatis yang terlihat intelektual model Musni Umar yang memuji-muji Taliban seperti Rasulullah menaklukan Mekah.

Tindakan represif seperti dilakukan Densus 88 haruslah dipandang sekrup kecil dari perang semesta melawan Talibanisme di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun