Itulah salah satu pelajaran penting dari perkara korupsi suap bantuan sosial (Bansos) Covid-19 dengan terdakwa Juliari Peter Batubara.
Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan. Ditambah harus membayar uang pengganti Rp14,59 miliar subsider 2 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 4 tahun.
Juliari dinilai hakim terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Agak jarang terjadi, vonis ini lebih berat satu tahun dari tuntutan jaksa 11 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan.
Namun, untuk ukuran kedudukan (menteri), jumlah korupsi (Rp32 miliar) dan keadaan yang melingkupi perbuatan (saat bencana nonalam Covid-19), pidana 12 tahun terhadap Juliari tersebut terbilang sangat ringan. Bandingkan dengan vonis Akil Mochtar.
Dalam salah satu bagian pertimbangan putusan hakim menyebutkan salah satu hal yang meringankan karena terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat.
Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengkritik pertimbangan itu dengan alasan cacian dan hinaan tidak layak jadi bahan pertimbangan putusan hakim karena seluruh terdakwa dibully.
Logika Boyamin sekilas masuk akal tapi cukup berbahaya karena kampanyekan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah.
Belum ada istilah "koruptor" sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Maka, terlarang non hakim menghakimi orang.
Apapun kritik terhadap pertimbangan majelis hakim, yang pasti hakim punya otoritas untuk mempertimbangkan apa saja hal yang dianggap meringankan (mengurangi hukuman) terdakwa.