Hanya penyidik lugu yang mengandalkan penyadapan untuk mengungkap kasus korupsi.
Orang yang paham hukum pembuktian pasti tahu, bahwa penyadapan hanya bermakna 1 (satu) alat bukti elektronik, selain untuk mengungkap jejaring kejahatan. Tak lebih tak kurang.
Dalam perkara tipikor, penyadapan penting dalam perkara penyuapan yang minim bukti dan untuk operasi tangkap tangan, yang biasanya bernilai tak terlalu besar. Namun alat bukti penyadapan demikian tetap harus dilengkapi alat bukti lain.
Di luar itu, khususnya korupsi anggaran negara (APBN/D), termasuk yang melibatkan korporasi, alat buktinya bejibun: saksi-saksi, surat dan ahli. Dan alat bukti ini bisa didapatkan dengan penyitaan dan panggilan resmi. Jadi tak perlu penyadapan.
Perkara korupsi APBD/N di pusat dan daerah, yang ditangani polisi atau jaksa, tak butuh penyadapan tuh. Mereka selalu tak kekurangan alat bukti: saksi-saksi, surat/dokumen, ahli, dan ahli auditor BPK/BPKP. Ini sudah lebih dari cukup.
Dengan alat-alat bukti itu sudah otomatis ketahuan rantai jejaring penyertaan korupsi yang sedang diusut: siapa pelaku utama dan pelaku penyertaan. Tak butuh penyadapan.
Jangan lupa, sebagian besar kasus korupsi di Indonesia justru ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. KPK hanya sebagian kecil.
Karena itulah, gonjang-ganjing publik terkait revisi UU KPK, yang antara lain mengandung materi muatan pembentukan Dewan Pengawas untuk mengawasi akuntabilitas penyadapan, sudah tak proporsional lagi. Lebai.
Seolah-olah KPK akan tamat, akan mati, hanya oleh pengawasan penyadapan. Hanya orang kurang cerdas yang jejak korupsinya bisa disadap. Hanya penyidik lugu yang mengandalkan penyadapan untuk mengungkap kasus korupsi.(*)
SUTOMO PAGUCI