Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penegakan Pidana Lingkungan Hidup Wajib Terpadu

19 Agustus 2019   17:29 Diperbarui: 22 Mei 2021   17:51 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebakaran lahan (Kompas.com/Idon)

Penyidik tunggal masih kerap ditemui dalam praktik penegakan hukum pidana lingkungan hidup di Indonesia. Praktik begini merupakan bentuk pelanggaran hukum acara yang sangat serius.

Modusnya: sidik sendiri lalu laporkan pada instansi penegak hukum lain. Seolah penyidikan terpadu.

Disebut penyidik tunggal karena yang melakukan penyidikan hanya kepolisian saja atau penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) pada Direktorat Penegakan Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja.

Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XII/2014 telah menegaskan, bahwa penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dilakukan secara terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan dibawah koordinasi Menteri.

Jadi, sejak tanggal putusan MK tersebut (21 Januari 2015), tidak boleh lagi penyidik tunggal dalam penegakan hukum pidana lingkungan hidup. Wajib terpadu.

Dalam Putusan MK dengan pemohon Bachtiar Abdul Fatah tersebut di atas, antara lain, menyatakan kata "dapat" dalam Pasal 95 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebelumnya, penyidikan tunggal atau terpadu sifatnya hanya pilihan, tidak mengikat karena adanya kata "dapat" dalam redaksi Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH yang berbunyi: "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri."

Setelah keluar Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014 tanggal 21 Januari 2015, Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH diubah bunyinya menjadi: "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri." (Kata "dapat" sudah ditiadakan). Dengannya penyidikan wajib dilakukan terpadu.

Jelaslah bahwa yang dimaksud oleh redaksi baru Pasal 95 Ayat (1) UU PPLH tersebut di atas adalah sebatas penyelidikan dan penyidikan. Yang terpadu adalah penyelidikan dan penyidikannya. Sedangkan penuntutan ke pengadilan tetap tunggal dilakukan oleh kejaksaan selaku penuntut umum.

Yang terjadi dalam praktik di lapangan, sekedar contoh, PPNS pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menyidik tindak pidana lingkungan hidup secara tunggal, tanpa melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan.

Entah apa alasan persis PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menyidik tindak pidana lingkungan hidup secara sendirian, apakah kesulitan koordinasi, belum ada memorandum of understanding, atau kesulitan teknis lainnya.

Ada tendensi kuat penyidik dari PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan semacam "trik" akal-akalan agar seolah-olah telah dilakukan penyidikan secara terpadu, padahal kenyataannya tidak.

Trik itu antara lain, melaporkan perkembangan penanganan perkara kepada instansi penegak hukum lain (kepolisian dan kejaksaan), misalnya, pada saat surat perintah penyidikan telah dikeluarkan oleh Direktorat Penegak Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Perihal surat laporan itu biasanya berbunyi: "Pemberitahuan dimulainya penyidikan". Setelah surat perihal ini dikirimkan, tak lama kemudian akan disusul surat lain lagi perihal "pemberitahuan" identitas tersangkanya.

Ya cuma begitu saja. Sama sekali tidak tercermin adanya penyidikan yang dilakukan secara terpadu antara PPNS, kepolisian dan kejaksaan. Sebagaimana contoh pembandingnya sudah ada dalam penegakan hukum pemilihan umum, yaitu apa yang disebut "Sentra Gakkumdu".

Menurut penulis, penyidikan yang tidak mengacu pada tata cara yang digariskan oleh undang-undang (putusan MK setara undang-undang) berakibat hasil penyidikan tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh hakim pengadilan.

Bayangkan. Jika berkas perkara, sebagai dasar dakwaan, dinyatakan tidak sah oleh hakim maka akan berkibat kegagalan atau kesia-siaan penegakan hukum. 

Negara telah mengeluarkan biaya tak sedikit untuk penyidikan perkara, malah berakhir dengan berkas penyidikan perkara dinyatakan tidak sah. Seperti lari di tempat, sudah berkeringat tapi tak menghasilkan apa-apa.(*)

SUTOMO PAGUCI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun