Naik gunung itu berat. Pendaki tidak akan mau membawa kain untuk dikibarkan di puncak gunung kecuali kain itu lekat menyatu dengan hatinya atau pendapatannya.
Di gunung aku sering bertemu pendaki dengan atribut lebih kurang begini: pakai bendera tauhid HTI, bahkan setelah HTI dibubarkan, kadang bawa bendera Palestina, ada kalanya dikibarkan di puncak gunung, pakai celana cingkrang, atau pakai cadar bagi perempuan.
Gunung jadi potret kecil dari pantulan realitas sosial politik di bawah. Bagaimana masyarakat di bawah, begitulah ketika naik gunung.
Suatu pagi saat sedang menikmati pemandangan danau kembar dari puncak cadas gunung Talang, aku menyaksikan persis di sampingku beberapa pendaki anak muda berfoto dengan bendera Palestina. "Ada bendera Indonesia?," tanyaku iseng.
"Hmm, nggg, enggak ada, pak," jawab mereka gelagapan. Seolah menjelaskan bahwa hati nurani mereka sebetulnya merasa bersalah mengibarkan bendera negara asing, sedangkan bendera negara sendiri tidak dikibarkan.
Euforia dan histeria masyarakat menggunakan simbol-simbol negara Palestina, sebagai bentuk dukungan moral pada Palestina yang dijajah Israel, juga mengejawantah di gunung.
Mungkin saja bisa berdebat, apa masalahnya dengan mengibarkan bendera Palestina, seperti halnya anak-anak Palestina mengibar-ngibarkan bendera merah putih Indonesia di negaranya, sebagai bentuk apresiasi pada kepedulian Indonesia. Tentu saja tidak ada masalah.
Menjadi masalah, setidaknya menurutku, apabila euforia dukungan pada Palestina, yang diwujudkan antara lain dengan memakai simbol negara Palestina seperti bendera kebangsaan, bersamaan suka menjelek-jelekkan negara sendiri, anti pemerintah, dan seterusnya. Kan sering di medsos begitu tuh.
Hari-hari belakangan ini nitizen Indonesia, yang kepo maksimal dan kadang suka julid, memviralkan jejak digital Enzo Allie, pemuda blasteran Prancis (ayah) dan Indonesia (ibu), yang diterima jadi prajurit TNI, sedang berfoto pakai bendera HTI berkibar di tasnya dengan latar pegunungan, kelihatannya seperti di hutan mati gunung Papandayan. Foto itu diunggah 25 Maret 2017 lalu. Jejak digital memang kejam.