Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Acho, Ini Alasan Dekriminalisasi Pasal UU ITE

10 Agustus 2017   12:10 Diperbarui: 8 September 2017   14:09 2790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Acho di Kejari Jakarta Pusat, Senin (7/8/2017) lalu (Foto: KOMPAS/ANDI MUTTYA KETENG)

Subjek atau pihak yang dirugikan dalam kasus pencemaran nama baik adalah diri pribadi dan atau badan. Artinya, kerugian itu bersifat privat atau keperdataan. 

Karena itu, pencemaran nama baik pada awalnya merupakan konsep hukum privat (keperdataan), bukan pidana. Lalu belakangan pencemaran nama baik dikriminalisasi, menjadi tindak pidana dalam pelbagai perundang-undangan pidana.

Yang proporsional memang pencemaran nama baik diatur dalam hukum keperdataan. Logikanya, jika yang dirugikan adalah nama baik atau nilai ekonomis orang per orang dan atau badan (bukan masyarakat luas), mengapa perlu institusi negara terlibat menegakkannya? 

Kasus Acho dan Prita Mulyasari dapat dijadikan contoh. Pada kasus Acho yang merasa dirugikan adalah sebuah badan hukum perdata atau korporasi yaitu Apartemen Green Pramuka. Pada kasus Prita, yang merasa dirugikan adalah Rumah Sakit Omni Internasional.

Berhubung pencemaran nama baik dua institusi perdata di atas merupakan tindak pidana, maka penegakan hukumnya menggunakan tangan aparat negara, mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Di sini tidak logisnya.

Yang berperkara mempertahankan nilai keperdataan (nama baik dan nilai ekonomis) adalah pengelola Apartemen Green Pramuka vs Acho, tetapi yang riel berhadapan justru negara (dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan) vs Acho. Singkatnya, yang berperkara: Negara Indonesia vs Acho. 

Padahal, kenyataannya, yang berperkara bukan negara Indonesia, melainkan pengelola apartemen Green Pramuka vs Acho. Harusnya, dua pihak ini yang berhadap-hadapan dalam suatu forum perkara perdata di pengadilan.

Coba, enak bener pengelola apartemen Green Pramuka dibela, diwakili dan diurus kepentingan hukumnya oleh negara melalui kepolisian dan kejaksaan, sedangkan yang diperjuangkan intinya adalah duit Green Pramuka, bukan duit negara.

Atas dasar itulah maka delik pencemaran nama baik dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan KUHP sebaiknya didekriminalisasi saja. Dekriminalisasi adalah suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana diubah menjadi bukan tindak pidana.

Tugas negara sudah sangat banyak dan sangat sibuk sekali, tak usahlah ditambah-tambah urusi keuangan pengelola apartemen Green Pramuka. Biar negara urus penggunaan dan penyelamatan keuangan negara saja di bidang infrastruktur, gaji ASN/PNS dll.

Biarkan apartemen Green Pramuka mengurus dirinya sendiri. Sebagaimana halnya Acho mengurus urusannya sendiri. Jika kedua belah pihak merasa dirugikan nama baiknya, berperkaralah di pengadilan perdata. Untuk itu tidak gratis. Semua bayar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun