SAAT INI umur saya 40 tahun dan sudah setahun terakhir kembali aktif mendaki gunung setelah vakum hampir 16 tahun.
Di usia ini, apalagi yang seprofesi, agak sulit mencari orang yang masih hobi mendaki gunung. Kebanyakan pendaki masih berusia muda, di bawah umur 25 tahun.
Pada usia 40 tahun ke atas banyak “halangan” untuk mencoba hobi baru atau mengaktifkan kembali hobi lama mendaki gunung, sebut saja kesibukan kerja, fisik yang tidak lagi kuat, perut mulai berat membuncit, kepala mulai botak memantulkan sinar matahari, anak-istri yang khawatir di rumah, dsb.
Tapi, percayalah, saya sudah merasakan, kembali aktif mendaki gunung di usia 40-an memiliki sensasi yang berbeda dibandingkan saat dahulu mendaki gunung pada umur di bawah 25 tahun.
Bagi Anda yang tidak hobi mendaki gunung, pun, tidak ada salahnya untuk mencoba jenis olahraga lain yang menantang andrenalin, memuaskan mata dengan keindahan alam, mengolahragakan fisik dan mental, serta memberi waktu untuk mencas diri untuk merangsang lahirnya ide-ide baru.
1. Kebutuhan fisik
Usia 40-an tentunya pertumbuhan fisik ke atas telah sepenuhnya berhenti. Tumbuh cenderung ke samping. Kelebihan sari makanan dari kebutuhan tubuh akan ditumpuk jadi lemak, yang jika tidak dikeluarkan dengan olah raga atau terapi tertentu, akan membuat tubuh gemuk dan tidak sehat.
Pengalaman saya, hanya olah raga biasa, terutama jenis olahraga ringan dengan intensitas rendah, tidak mencukupi untuk membuang lemak dari lapisan perut, pinggang dll.
Olahraga keras semacam mendaki gunung memaksa fisik untuk memompa diri sampai batas maksimal. Asalkan rutin tidak butuh waktu lama untuk menyeimbangkan berat badan.
2. Memaksa stabilkan kesehatan
Mendaki gunung tentu butuh fisik dan mental prima. Fisik dan mental lemah tak akan mampu menaklukan sebuah gunung terendah sekalipun. Karena itu, (calon) pendaki dipaksa untuk berlatih fisik dan mental agar siap untuk mendaki gunung.
Tensi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari batas normal sangat berbahaya untuk dipaksa mendaki gunung. Tidak ada cara lain supaya bisa mendaki gunung, tensi harus dinormalkan. Dan untuk itu harus mempertahankan gaya hidup sehat.
Belum lagi penyakit-penyakit lain semisal diabetes, jantung, rematik dsb dipastikan akan menghalangi untuk mendaki gunung.
Mengatur pola hidup sehat dan rutin donor darah mencegah berbagai penyakit akut agar fisik tetap prima. Hayo donor darah. Eh, kok jadi kampanye donor darah.
3. Lepas dari rutinitas pekerjaan
Pekerjaan kadang serasa tak ada habis-habisnya. Dari hari Senin sampai Jumat atau Sabtu, kadang ditambah hingga malam hari, tapi pekerjaan kadang tak kunjung tuntas sampai memuaskan hati.
Dalam keadaan lain, bekerja seperti rutinitas saja, mekanis seperti mesin: bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat ke kantor, pulang, tidur, bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat ke kantor. Begitu seterusnya. Seperti sebuah lingkaran yang tak habis-habisnya.
Jalan-jalan ke luar negeri atau traveling di objek wisata dalam negeri merupakan pilihan yang paling umum untuk dilakukan. Mendaki gunung salah satu pilihan nonmainstream.
4. Menyegarkan hidup dan ide
Sepanjang perjalanaan kita akan dihadapkan pada hamparan pemandangan yang indah, sungai jernih gemericik, pohon pinus berderai sampai jauh, cuaca dingin yang ngangeni, dan ketemu dengan banyak orang dari berbagai daerah, bangsa bahkan mancanegara.
Obrolan yang asyik dengan kawan seiring atau tetangga sebelah tenda, suara gitar yang merdu (bila tak terlarang membawa gitar), berpadu dengan acara memasak di gunung, adalah pengalaman yang segar dan menyegarkan.
Semua itu akan terasa berbeda. Menyegarkan. Membuat kangen dan menagih untuk kembali mendaki gunung. Kesegaran yang ditimbulkan oleh sekali saja mendaki gunung terasa luar biasa, apalagi berkali-kali. Kembali bekerja menjadi lebih semangat. Dan ide-ide baru seolah bermunculan entah dari mana.
5. Menyalurkan hobi
Memang ada orang tertentu yang jiwanya tertambat pada gunung-gunung, belantara dan alam bebas lainnya. Usia bukan halangan. Bahkan, kadang, kematian digunung dipandang sebuah perjalanan menuju pencipta dari gunung yang dicintainya.
Para pendaki yang update tentu tahu kehebatan Yuichiro Miura. Kakek berusia 83 tahun ini (kelahiran 12 Oktober 1932) adalah pria tertua yang mampu menaklukan puncak tertinggi Everest 8.848 mdpl pada usia 80 tahun.
Di Indonesia kita kenal Mbah No (Himawan Tedjomulyono), di usia 79 tahun terus aktif mendaki gunung, hingga 29 gunung di Indonesia telah ia taklukan. Ada lagi mba "Toet" (Sri Bimastuti Abimayu, lahir 15 Mei 1955) dan "Yta Gultom" (Elyta Lyliane Gultom, lahir 8 Maret 1956) terus aktif mendaki puncak-puncak tertinggi di dunia pada usia tua.
Apakah hobi mendaki gunung sebagai profesional atau amatir, bukan soal. Mendaki gunung adalah penyaluran hobi, tempat di mana cinta tertoreh pada setiap tapak yang ditinggalkan.
6. Sudah mapan
Usia 40-an diasumsikan sudah relatif mapan setidaknya cukup punya uang untuk mengalokasikan anggaran beberapa juta buat beli keril berbagai ukuran, tenda, dan kelengkapan pendakian lain. Tidak akan “sesakit” saat mengeluarkan uang dalam jumlah cukup besar saat masih mahasiswa.
Pendakian jadi lebih aman. Semua kelengkapan standar pendakian bisa dibeli. Beda dengan saat masih SMA atau mahasiswa, bahkan untuk beli keril 60 liter saja terasa berat di kantong.
Jangan salah. Mendaki gunung adalah hobi yang cukup mahal. Alokasi dana cukup besar untuk transportasi, penginapan, perlengkapan, pemandu, porter dan biaya izin masuk lokasi pendakian.
Mendaki gunung Kinabalu di Sabah butuh dana setidaknya Rp 7 juta, puncak Carstensz Pyramid di Papua butuh dana setidaknya Rp40-an juta, dan Everest setidaknya butuh dana lebih dari Rp500-an juta. Bagi para profesional tinggal cari sponsor, namun untuk amatir ya harus sedia dana sendiri.
7. Melepas jenuh
Hidup di kota tidak selamanya enak, tidak selamanya lancar jaya, tidak selamanya mulus tanpa masalah. Kadang hidup terasa rumit oleh masalah sendiri atau masalah yang datang dari luar. Setidaknya rutinitas membuat jenuh.
Ketika pikiran suntuk artinya saat untuk berkemas melakukan pendakian. Boleh disebut lari dari masalah. Boleh juga disebut membunuh waktu. Di gunung terlarang membunuh binatang, tapi boleh membunuh waktu. Perjalannya asyik dan mengasyikan. Pulangnya kembali segar dan menyegarkan.
SUTOMO PAGUCI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI