Melakukan segala sesuatu dengan terpaksa pasti tidak enak. Apa pun itu. Pengendara motor yang merasa terpaksa memakai helm sudah pasti juga merasa tidak enak dan tidak nyaman berkendara. Maunya kepala kelihatan biar nampak gagah.
Bayangkan itu. Hukum formal yang normanya memaksa saja tidak enak jika dilaksanakan dengan terpaksa. Apalagi norma agama dan norma sosial yang dikatakan tidak bersifat memaksa, tidak dapat dipaksakan oleh aparat negara, melainkan norma yang pelaksanaannya dengan kesadaran sendiri.
Bayangkan lagi yang ini. Berhubungan seks itu enak. Tapi kalau sudah main paksa, wuih, tidak enak. Namanya pemerkosaan. Sebaliknya, jika suka sama suka, seks menjadi rekreasi syaraf dan jiwa yang sangat menyenangkan. Pelumasan kedua belah pihak berlangsung tertib dan lancar.
Sujud beribadah juga sangat menyenangkan jika dilaksanakan dengan kesadaran sendiri. Bangun tengah malam untuk sujud bersimpuh pada Tuhan. Hmm, nikmat sekali. Bagi yang biasa bersujud, keningnya bahkan nampak berwarna kecoklatan karena kapalan.
Sebaliknya lagi, andai sujud beribadah itu dipaksa oleh pihak lain. Jika tidak mau melakukan ditangkap Satpol PP. Bayangkan lagi itu, kawan. Sudah tua bangka masih dipaksa beribadah. Enak nggak tuh.
Itulah yang terjadi saat ini. Berjilbab dipaksa. Jika tidak berjilbab ditangkap Satpol PP dengan dakwaan melanggar Perda Syariat. Baca tulis kitab suci wajib bagi calon pengantin. Jika tidak bisa baca tulis kitab suci maka tidak boleh menikah (jadi rukun nikah akhirnya). Loh, sejak kapan norma agama bersifat memaksa dan bisa dipaksakan oleh aparat negara?[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI