Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengunjungi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong

21 Januari 2020   11:18 Diperbarui: 21 Januari 2020   12:00 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan nama dan Pemilik Museum (sumber: travel.kompas.com)

Wayang potehi dipentaskan dengan iringan musik yang ramai, seperti gembreng, simbal, cheh, puah, suling, gitar Tionghoa, rebab, tambur, terompet dan piak-kou. Saat ini permainan ini hampir punah karena hanya tersisa beberapa dalang di kota Semarang (Jawa Tengah) dan Surabaya (Jawa Timur). 

Wayang Potehi (dokpri)
Wayang Potehi (dokpri)
Komik Put On (dokpri)
Komik Put On (dokpri)
Koleksi Museum Pustaka diantaranya koran Sin Po sebagai surat kabar pertama yang berani menyiarkan lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Ada majalah Star Weekly yang diterbitkan oleh bangsa Tionghoa. Juga komik Put On dan Sie Djien Koei, serta cerita silat yang ditulis oleh Kho Ping Hoo dan komik silat Ganes TH dan lain-lain.

Kisah kelam di masa Orde Baru dimana identitas Tionghoa dihapus, aktivitas keagamaan dan budaya dilarang dan dibatasi, seperti penulisan kaligrafi Tionghoa dan warga Tionghoa harus mengganti nama Tionghoa ke nama Indonesia, misal nama yang semula Tan Lian Tjhoen berubah menjadi Djoenaedi. Termasuk seniman Tionghoa yang hampir tidak dikenal sebagai etnis Tionghoa karena sudah memakai nama Indonesia, seperti pelawak Ateng, sutradara Teguh Karya dan penyanyi Chrisye.

Bangsa Tionghoa di Indonesia juga banyak berjasa di bidang kesehatan masyarakat, diantaranya dengan mendirikan rumah sakit, seperti pengobatan gratis yang dipelopori oleh Jang Seng Ie dan Sin Ming Hui yang lalu berkembang menjadi rumah sakit, Jang Seng Ie menjadi RS Husada di Mangga Besar Jakarta Barat dan Sin Ming Hui menjadi RS Sumber Waras di Roxy Jakarta Pusat.

Kami juga mendapat cerita tentang kuliner Tionghoa yang diadopsi di Indonesia seperti bacang, wedang ronde, bakmi, cap cay dan lain-lain. Menurut kisahnya, masakan cap cay berasal dari negeri Tiongkok, saat ada orang Eropa yang sedang kelaparan datang ke rumah makan Tionghoa yang sudah hampir tutup karena sudah malam dan bahan makanan juga sudah habis. Si orang Eropa memaksa memasak apa saja yang tersisa, maka terpaksa tukang masak memasukkan apa saja bahan makanan yang masih ada, dan ternyata orang Eropa itu menyukainya. 

Mengenai makanan bakcang juga ada kisahnya yang terkait dengan festival PekCun, dimana seorang menteri yang bijaksana dan dicintai rakyat harus bunuh diri karena harus diasingkan dari Pemerintahan, lalu guna melindungi jasad Qu Yuan, warga membuang nasi ke sungai agar ikan menyantap nasi dan tidak mengganggu tubuh Qu Yuan. Peristiwa ini lalu diperingati dan nasi yang dilempar ke sungai itu menjadi cikal bakal terciptanya makanan bakcang yang lazim disajikan dan disantap saat festival Pek Cun. Sedangkan festival ronde lazim dirayakan pada tanggal 22 Desember tiap tahunnya. 

Juga bahasa Tionghoa yang mempengaruhi bahasa Betawi, seperti pang keng (kamar tidur), tau ke (majikan), engkong (kakek),  ca wan (gelas), gue (saya)  dan elo / lu (kamu).

Menjelang Tahun Baru Imlek, juga disinggung ucapan Gong Xi Fa Cai yang diadopsi dari HongKong dan Singapore sebenarnya kurang tepat, karena berasal dari ucapan orang miskin ke orang kaya agar menjadi lebih kaya. Ucapan yang benar adalah Sien Coen Kiong Hie, Thiam Hok Thiam Sioe, yang artinya Selamat Menyambut Musim Semi, Tambah Umur Tambah Kebahagiaan. Relawan pengelola museum juga mengajarkan cara melakukan soja atau pai dengan benar, yakni tangan kanan mengepal dibungkus tangan kiri, karena tangan kanan biasa digunakan untuk memukul perlu ditutup dengan tangan kiri sebagai rasa hormat dan permintaan maaf.

Menjelang tengah hari kami berpamitan untuk makan siang dan kami hendak memberikan kontribusi berupa uang untuk perawatan museum, namun ditolak oleh relawan pengelola museum. Dikatakan bahwa banyak konglomerat ingin menyumbang dana untuk perkembangan museum namun ditolak. Yang mau diterima hanya sumbangan buku tentang Tionghoa. 

Meski cerita sejarah perjuangan dan aktivitas bangsa Tionghoa di Indonesia tidak diceritakan secara berurutan, namun karena penuturannya sangat jelas, kami jadi bertambah pengetahuan mengentai sejarah pergerakan bangsa Tionghoa di Indonesia.

Sumbang Saran
Mengingat pentingnya dan langkanya pustaka milik Azis dan sumbangan buku tentang Tionghoa, sebaiknya dibuat cadangan (back up) berupa mikro film yang disimpan di safe deposit agar bila misalnya terjadi hal yang tidak diinginkan pada museum ini, misal kebakaran atau kebanjiran, masih ada cadangan pada media lain. Agar pustaka yang dikumpulkan dengan susah payah tidak sirna begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun