Mohon tunggu...
sutari ningsih
sutari ningsih Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Pamulang

saya menulis bukan karena ingin terkenal, tapi karena saya ingin menulis^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Risiko menjadi anak terakhir

7 Oktober 2025   13:00 Diperbarui: 7 Oktober 2025   12:34 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Selalu Terakhir"
Namaku tari, anak terakhir dari empat bersaudara. Kakakku yang sulung, Kak S, kini sudah menikah dan tinggal di beda lokasi. Kak F, anak kedua, sibuk kerja dan hampir tak pernah di rumah. Kak D anak ketiga, sibuk kerja juga dan hoby nya sepak bola, semua sudah menikah. aku, sendirian, dengan Ibu dan Bapak di rumah tua ini.

Dulu, saat masih kecil, aku pikir menjadi anak terakhir adalah anugerah. Aku selalu yang paling dimanja, paling dilindungi, paling sering dibelikan jajanan. Tapi semakin aku dewasa, aku mulai sadar—ada harga yang harus dibayar karena menjadi yang terakhir. Setiap kali ada pekerjaan rumah, Ibu akan memanggil,


"Tari, tolong bersihkan meja makan ya. Kakak-kakakmu sudah sibuk semua."

Saat ada masalah keluarga, entah mengapa aku yang masih duduk di bangku Kuliah justru diajak diskusi.
"Ini cuma tinggal kamu yang di rumah, tari. Kami butuh kamu lebih dewasa."
Padahal, aku juga ingin jadi anak-anak. Aku ingin punya ruang untuk marah, menangis, bahkan egois. Tapi entah kenapa, ekspektasi itu selalu datang lebih dulu. Seolah karena aku yang terakhir, maka aku harus jadi penutup yang sempurna.
Pernah suatu malam, aku duduk di ruang tamu sendirian. Ibu dan Bapak sedang bertengkar soal keuangan, suara mereka terdengar jelas meski dari kamar. Aku hanya bisa menggenggam erat selimut, mencoba tak menangis.

Esok paginya, Ibu menatapku dengan lelah.
"Maaf ya, Tari... kamu harus denger itu. Tapi kamu kuat, kan?" Aku tersenyum. Lagi-lagi aku harus kuat. Lagi-lagi aku harus jadi tempat bersandar, padahal aku pun lelah berdiri. Kak D pernah berkata, "Enak ya jadi kamu, semuanya sudah dipermudah. Zaman Kakak dulu, semuanya serba susah." Aku hanya tertawa kecil. Mereka hanya melihat kemudahan yang aku nikmati—bukan kesepian yang aku alami. Terkadang, menjadi anak terakhir bukan soal dimanja, tapi soal harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Harus menjadi kuat, karena semua sudah terlalu lelah untuk menjaga.

Dan malam itu, saat aku menatap langit dari jendela kamar, aku hanya bisa berbisik dalam hati:
"Menjadi yang terakhir bukan berarti tak terluka. Hanya saja, aku belajar menyembunyikannya lebih awal dari yang lain."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun