Mohon tunggu...
Rizki Edmi Edison
Rizki Edmi Edison Mohon Tunggu... -

Medical Doctor / Ph.D in Neurosurgery

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Astagfirullah, beliau dinyatakan bersalah..." ataukah "Alhamdulillah, beliau akhirnya ditangkap" ?

18 November 2013   13:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:00 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas tentu menimbulkan salah paham dan menyulut emosi jika tidak bersedia membaca tulisan ini sampai akhir.

Berita terkait ditangkapnya Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, yang oleh Mahkamah Agung diputus bersalah dengan Dokter Hendry Simanjuntak, dan Dokter Hendy Siagian karena kasus yang menimpa almarhumah Julia Fransiska Makatey menimbulkan gejolak dikalangan para dokter Indonesia.
Kesedihan yang begitu mendalam tentu bukan saat Dokter Ayu ditangkap di Balikpapan, melainkan saat mereka bertiga diputus bersalah oleh Mahkamah Agung meski yang para dokter tersebut lakukan adalah menolong pasien, bukan mencelakai maupun membunuh pasien tersebut sebagaimana yang diberitakan di berbagai media.

Mengapa saya bersyukur? Mari kita coba lihat kronologis peristiwa (sebagaimana yang saya ketahui dari berbagai sumber).

April 2010 :
Dokter Ayu dkk melakukan tindakan operasi pada pasien. Pasien tersebut meninggal setelahnya.
Awalnya keluarga pasien menerima hal tersebut, namun beberapa waktu kemudian pihak keluarga yang menuntut para dokter yang menangani. Dilakukanlah mediasi, di mana dokter yang terlibat telah menyerahkan uang sebesar 50 juta rupiah pada pihak keluarga pasien. Meski telah dilakukan mediasi, pihak keluarga pasien tetap menutut para dokter dan membawa kasus ini ke pengadilan.

September 2011:
PN Manado mengeluarkan keputusan bahwa baik Dokter Ayu, Dokter Hendry, maupun Dokter Hendy dinyatakan tidak bersalah.
Meski telah dinyatakan tidak bersalah, pihak keluarga korban selanjutnya membawa kasus ini ke Mahkamah Agung.

November 2012:
MA menyatakan bahwa ketiga dokter tersebut dinyatakan bersalah.
Di berbagai sumber dijelaskan ada beragam hal yang membuat mereka dituntut, yang sejatinya tidak ada hubungan langsung dengan tindakan saat operasi. Hal-hal tersebut adalah:
1. Tidak adanya pemberitahuan kepada pihak keluarga pasien tentang kemungkinan terburuk tindakan operasi seperti kematian.
2. Tidak dilakukannya berbagai pemeriksaan penunjang sebelum dilakukannya tindakan operasi.
3. Tidak dimilikinya SIP dan STR oleh dokter-dokter terkait.

November 2013:
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani ditangkap di Balikpapan.
Berita penangkapan ini menimbulkan gejolak yang tidak kecil, sampai para dokter melakukan aksi solidaritas berskala nasional.

Jika melihat urutan peristiwa di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa bukan putusan bersalah oleh Mahkamah Agung lah yang telah melahirkan aksi solidaritas oleh para dokter Indonesia di seluruh dunia, melainkan ditangkapanya Dokter Ayu yang diberitakan di media.
Andai saja beliau belum ditangkap saat ini, apakah aksi solidaritas ini yang begitu hebat ini akan muncul? Sekiranya saja beliau langsung ditangkap saat putusan Mahkamah Agung keluar pada tahun 2012, apakah aksi solidaritas ini aka ada, mengingat bukan Ikatan Dokter Indonesia, melainkan Dokter Indonesia Bersatu yang pertama sekali menyebarkan berita ini?

Kabar terbaru menyebutkan bahwa Menteri Kesehatan RI telah menghubungi Jaksa Agung untuk menangguhkan penahanan ketiga dokter tersebut. Penangguhan ini tentu melegakan. Namun demikian, bukankah hal itu masih terbatas pada “kelegaan semu”? Karena sejatinya penangguhan bukanlah pernyataan bebas tidak bersalah.
Apakah tidak ada hal mendasar yang patut diperbaiki, agar kedepannya, tidak ada lagi kriminalisasi dokter yang tidak masuk akal ini?

Dari peristiwa di atas, ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan dan harus segera ditemukan solusinya.
1. Apakah SIP dan STR para peserta PPDS merupakan tanggungjawab pribadi dokter bersangkutan? Apakah tidak ada bantuan ataupun perlindungan terhadap hal ini oleh rumah sakit ataupun universitas yang menaunginya?
2. Apakah pemeriksaan penunjang merupakan hal yang wajib dilakukan pada berbagai keadaan meski dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera? Jika iya, apabila terjadi perburukan kondisi pasien akibat pemeriksaan yang memakan waktu tersebut, apakah hal ini menjadi tanggungjawab dokter yang menanganinya? Jika pemeriksaan penunjang yang tentu tidak murah tersebut wajib dilakukan, bagaimanakah sistem pembayarannya?
3. Jika keluarga pasien pada awalnya telah menerima kondisi pasien yang memburuk dan mendapat penjelasan dari dokter, apakah keluarga pasien tersebut bisa menuntut kembali dokter tesebut beberapa waktu kemudian?

Untuk saat ini, baru sebatas doa lah yang bisa saya beri pada Dokter Ayu, Dokter Hendry, dan Dokter Hendy. Saya yakin, kasus yang dialami mereka hanyalah sedikit dari begitu banyaknya kriminalisasi dokter di Indonesia. Suatu saat, bukan tidak mungkin kriminalisasi ini akan menimpa salah satu di antara kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun