Keraton Kuto Gawang: Rekonstruksi Kota Benteng Maritim Kerajaan Palembang Abad ke-17
Oleh : HG Sutan Adil
Keraton Kuto Gawang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Palembang pada paruh pertama abad ke-17. Berbagai sumber, termasuk sketsa VOC, catatan pelancong Eropa, dan tradisi lisan lokal menggambarkan kompleks keraton ini sebagai kota-benteng dengan sistem pertahanan maritim yang canggih. Artikel ini berupaya merekonstruksi bentuk, fungsi, dan posisi strategis Kuto Gawang dalam konteks geopolitik maritim abad ke-17, melalui perbandingan antara sumber lokal, kolonial, dan modern.
1. Pendahuluan
Dalam historiografi Nusantara, kota-kota benteng pesisir memiliki peran sentral dalam mempertahankan kedaulatan dan perdagangan. Di antara kota-kota ini, Kuto Gawang di Palembang menempati posisi penting sebagai contoh sinergi antara arsitektur lokal dan strategi militer maritim.
Tak banyak yang tahu bahwa di tepi Sungai Musi, jauh sebelum munculnya gedung-gedung industri seperti di PT Pusri, pernah berdiri sebuah kota benteng besar yang menjadi pusat Kerajaan Palembang. Meskipun sebagian besar struktur fisiknya telah hilang, berbagai catatan sejarah dari sumber Eropa dan lokal memungkinkan kita menyusun kembali gambaran sebuah keraton secara cukup rinci.Â
Namanya Keraton Kuto Gawang, sebuah keraton dengan struktur pertahanan maritim yang luar biasa untuk ukuran Nusantara abad ke-17. Keraton ini divisualisasikan dari catatan pelaut dan panglima Belanda seperti Joan Nieuhof dan Joan van der Laen yang menggambarkannya sebagai kota persegi panjang berukuran 1100 meter dengan dinding benteng dari kayu besi (unglen) setinggi 7.25 meter, lengkap dengan meriam-meriam, bastion (anjungan meriam), dan tembok tanah bagian dalam.
2. Sumber-sumber Historis
2.1 Sumber VOC dan Penjelajah Eropa
Sumber utama mengenai Keraton Kuto Gawang berasal dari laporan VOC dan penjelajah Belanda: