Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik. Telah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keraton Kuto Gawang; Rekonstruksi Kota Benteng Maritim Kerajaan Palembang Abad Ke-17

13 Juli 2025   14:22 Diperbarui: 13 Juli 2025   14:22 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keraton Kuto Gawang: Rekonstruksi Kota Benteng Maritim Kerajaan Palembang Abad ke-17

Oleh : HG Sutan Adil

Keraton Kuto Gawang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Palembang pada paruh pertama abad ke-17. Berbagai sumber, termasuk sketsa VOC, catatan pelancong Eropa, dan tradisi lisan lokal menggambarkan kompleks keraton ini sebagai kota-benteng dengan sistem pertahanan maritim yang canggih. Artikel ini berupaya merekonstruksi bentuk, fungsi, dan posisi strategis Kuto Gawang dalam konteks geopolitik maritim abad ke-17, melalui perbandingan antara sumber lokal, kolonial, dan modern.

1. Pendahuluan

Dalam historiografi Nusantara, kota-kota benteng pesisir memiliki peran sentral dalam mempertahankan kedaulatan dan perdagangan. Di antara kota-kota ini, Kuto Gawang di Palembang menempati posisi penting sebagai contoh sinergi antara arsitektur lokal dan strategi militer maritim.

Tak banyak yang tahu bahwa di tepi Sungai Musi, jauh sebelum munculnya gedung-gedung industri seperti di PT Pusri, pernah berdiri sebuah kota benteng besar yang menjadi pusat Kerajaan Palembang. Meskipun sebagian besar struktur fisiknya telah hilang, berbagai catatan sejarah dari sumber Eropa dan lokal memungkinkan kita menyusun kembali gambaran sebuah keraton secara cukup rinci. 

Ilustrasi Kota Palembang Lama // Sumber; Sutanadil Institute
Ilustrasi Kota Palembang Lama // Sumber; Sutanadil Institute

Namanya Keraton Kuto Gawang, sebuah keraton dengan struktur pertahanan maritim yang luar biasa untuk ukuran Nusantara abad ke-17. Keraton ini divisualisasikan dari catatan pelaut dan panglima Belanda seperti Joan Nieuhof dan Joan van der Laen yang menggambarkannya sebagai kota persegi panjang berukuran 1100 meter dengan dinding benteng dari kayu besi (unglen) setinggi 7.25 meter, lengkap dengan meriam-meriam, bastion (anjungan meriam), dan tembok tanah bagian dalam.

2. Sumber-sumber Historis

2.1 Sumber VOC dan Penjelajah Eropa

Sumber utama mengenai Keraton Kuto Gawang berasal dari laporan VOC dan penjelajah Belanda:

Joan Nieuhof, dalam "Voyages and Travels to the East Indies (1653--1670)", menyebutkan kota Palembang sebagai "dikelilingi oleh benteng kayu besar yang menjaga istana raja, dengan masjid dan tempat tinggal bangsawan di dalamnya.

Buku Johan Nieuhof yang menjadi sumber primer penulisan sejarah Keraton Kuto Gawang // Sumber; Sutanadil Institute
Buku Johan Nieuhof yang menjadi sumber primer penulisan sejarah Keraton Kuto Gawang // Sumber; Sutanadil Institute

The city of Palimbang was fortified with vaſt trunks of trees put clofe together, up-on which were planted a vaſt number of great cannon, fo that it ſeemed impoffible to be taken by ſo fmall a number, being befides this invironed with a deep and miry ditch ((Johan Nieuhof, p.187)

Lukisan Sketsa Palembang Lama oleh John van Del laen, Laksamana VOC yang menyerang Palembang th 1659 // Sumber; Johan Van der Laen
Lukisan Sketsa Palembang Lama oleh John van Del laen, Laksamana VOC yang menyerang Palembang th 1659 // Sumber; Johan Van der Laen

Joan van der Laen, komandan serangan VOC ke Palembang tahun 1659, membuat sketsa yang menunjukkan tata letak Kuto Gawang, lengkap dengan tembok, sungai-sungai sekitar, dan tiga bastion menghadap Sungai Musi. Sketsa ini diterbitkan tahun 1719 dalam dokumen VOC yang kini tersimpan di Belanda (Nationaal Archief).

2.2 Sumber Sejarawan Kolonial

Sejarawan Belanda seperti H. D. Colenbrander dan J. A. van der Chijs mencatat bahwa Palembang adalah kota pelabuhan yang penting dengan pertahanan yang luar biasa untuk ukuran kota Melayu pada masa itu. Dalam Nederlandsch-Indi disebutkan:

"Kuto Gawang dibangun dari balok kayu keras yang ditanam sedalam fondasi batu; tidak mudah ditembus, bahkan oleh meriam."

2.3 Sumber Sejarawan Nasional dan Lokal

Prof. Dr. Djajadiningrat mencatat bahwa Palembang merupakan satu dari sedikit kesultanan di Sumatera yang mempertahankan sistem pertahanan maritim dan sungai dengan teknologi adaptif (Djajadiningrat, Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra, 1960).

Selain sumber-sumber kolonial dan nasional, narasi lokal mengenai Kuto Gawang juga diperkuat oleh pandangan sejarawan lokal  Palembang, Djohan Hanafiah, yang selama puluhan tahun meneliti sejarah kota tua Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.

Dalam berbagai wawancara dan seminar budaya, Djohan Hanafiah menegaskan bahwa Kuto Gawang bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertahanan dan peradaban sungai. Ia menyebutkan bahwa:

"Kuto Gawang bukan hanya keraton, tapi benteng strategis yang berdiri di tengah simpul perairan. Lokasi itu dipilih karena pertahanan alami sungai-sungai kecil dan kanal. Kuto ini dikelilingi air dan jalur perdagangan."(Djohan Hanafiah,1987)

3. Rekonstruksi Arsitektur dan Tata Kota

3.1 Dimensi dan Struktur

Keraton Kuto Gawang berbentuk persegi panjang 700 depa (1100 m) dan dikelilingi oleh dinding dari balok kayu unglen atau kayu besi berukuran 30x30 cm setinggi 7,25 meter. Dinding ini diperkuat oleh tembok tanah bagian dalam tempat meriam-meriam pertahanan diletakkan.

Ilustrasi Lukisan Keraton Kuto Gawang Th 1659 // Sumber; Johan Nieuhoff
Ilustrasi Lukisan Keraton Kuto Gawang Th 1659 // Sumber; Johan Nieuhoff

3.2 Letak Geografis dan Lingkungan Alami

Kuto Gawang dibangun di antara tiga sungai penting: Sungai Rengas (di tengah), Sungai Tali Gawe (timur), Sungai Buah (barat).

"Nama-nama seperti Sungai Rengas, Tali Gawo, Sungai Buah itu bukan sembarang nama. Itu semua bagian dari sistem geostrategi kota air yang dulu dirancang di masa kerajaan." (Djohan Hanafiah,1987)

Ilustrasi Keraton Kuto Gawan yang dikelilingi oleh anak sungai dan 3 Benteng di sisi hilirnya // Sumber; Johan Van der Laen
Ilustrasi Keraton Kuto Gawan yang dikelilingi oleh anak sungai dan 3 Benteng di sisi hilirnya // Sumber; Johan Van der Laen

 Ketiganya memisahkan benteng dari daratan sekitarnya dan memberi keuntungan alami dari segi pertahanan.

"Kuto Gawang bukan hanya keraton, tapi benteng strategis yang berdiri di tengah simpul perairan. Lokasi itu dipilih karena pertahanan alami sungai-sungai kecil dan kanal. Kuto ini dikelilingi air dan jalur perdagangan."(Djohan Hanafiah, 1987)

3.3 Fungsi Internal

Di dalam keraton terdapat: Istana Pageran sebagai pusat pemerintahan, Masjid Agung sebagai pusat keagamaan dan pembinaan umat, Kompleks pemukiman bangsawan dan elite lokal.

4. Sistem Pertahanan Maritim dan Sungai

4.1 Bastion dan Persenjataan

Tiga baluarti/bastion dibangun di sisi Sungai Musi, satu di antaranya menggunakan batu bata dan dua lainnya dari kayu. Bastion ini dilengkapi dengan: Meriam-meriam besar dan lelo, Sistem pertahanan sungai yang ditopang oleh benteng tanah.

4.2 Benteng Pendukung dan Cerucup

Sistem pertahanan dilengkapi dengan tiga benteng eksternal dan Cerucup dari kayu unglen terbentang dari Pulau Kemaro ke Plaju, dilengkapi dengan rantai penghalang sungai, mirip sistem pertahanan pelabuhan Portugis dan Ottoman. Benteng tersebut adalah; Benteng Menapoura di Pulau Kemaro, Benteng Mathapoura (Martapura) di hilir Bagus Kuning, Benteng Bamagangan (Tambak Bayo)  di muara sungai komering, laju (terbesar).

Lokasi 3 Benteng saat terjadi Penyerangan VOC ke Palembang // SUmber; Johan Van der Laen
Lokasi 3 Benteng saat terjadi Penyerangan VOC ke Palembang // SUmber; Johan Van der Laen

The 10th they were advanced betwixt the ifle of Cambira and the oppofite fhore, within fight of the city of the ciry. Palimbang, where they difcovered three of the enemies forts; the firft called Bamagangan, fituate on the weftern point of the river of the ifle of Cambara, the other two upon its eaft point, oppofite to the other, they were called Mathapoura and Menaроиra.(Johan Nieuhoff, p.186)

5. Posisi Strategis dan Loji Asing

Wilayah di seberang selatan Kuto Gawang dikhususkan sebagai kawasan dagang dan pemukiman asing. Loji-loji dan permukiman apung/darat diisi oleh pedagang: Arab, Cina, Portugis, Belanda dan Inggris, serta komunitas internasional lainnya.

6. Transformasi Lokasi dan Memori Kolektif

Saat ini, lokasi bekas Keraton Kuto Gawang berada dalam kawasan PT Pusri Palembang. Meski sisa fisik keraton telah hilang, nama "Palembang Lama" masih menjadi penanda kultural dan identitas  masyarakat sekitar. Tradisi lisan masih menyebut area ini sebagai asal mula kota Palembang modern.

Lokasi Keraton Kuto Gawang yg sudah berganti menjadi PT Pusri Palembang // Sumber; Travelingyuk
Lokasi Keraton Kuto Gawang yg sudah berganti menjadi PT Pusri Palembang // Sumber; Travelingyuk

7. Kesimpulan

Kuto Gawang merupakan kota-benteng maritim yang mencerminkan kearifan lokal dalam pertahanan dan pusat kekuasaan. Lokasinya yang strategis, sistem pertahanan sungai, serta interaksi internasional menjadikannya sebagai salah satu contoh kota pelabuhan Melayu yang canggih dan bukti kemampuan adaptif arsitektur lokal terhadap ancaman kolonial abad ke-17. Keberadaannya menegaskan posisi Palembang sebagai kekuatan penting di jalur rempah dan pelayaran regional.

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 13 Juli 2025

Daftar Pustaka :

  • Nieuhof, Joan. Voyages and Travels to the East Indies, 1653--1670.
  • van der Laen, Joan. Sketsa Kota Palembang dan Penyerangan 1659 (arsip VOC).
  • van der Chijs, J. A. Nederlandsch-Indi: Tijdschrift voor geschiedenis.
  • Djajadiningrat, H. Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra, 1960.
  • Djohan Hanafiah, "Kuto Gawang: Pergolakan Politik dalam Kesultanan Palembang Darussalam", 1987
  • Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia, 1993.
  • Andaya, Barbara Watson. The World of Maluku and the Malay Maritime Kingdoms, 1999.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun