Joan Nieuhof, dalam "Voyages and Travels to the East Indies (1653--1670)", menyebutkan kota Palembang sebagai "dikelilingi oleh benteng kayu besar yang menjaga istana raja, dengan masjid dan tempat tinggal bangsawan di dalamnya.
The city of Palimbang was fortified with vaſt trunks of trees put clofe together, up-on which were planted a vaſt number of great cannon, fo that it ſeemed impoffible to be taken by ſo fmall a number, being befides this invironed with a deep and miry ditch ((Johan Nieuhof, p.187)
Joan van der Laen, komandan serangan VOC ke Palembang tahun 1659, membuat sketsa yang menunjukkan tata letak Kuto Gawang, lengkap dengan tembok, sungai-sungai sekitar, dan tiga bastion menghadap Sungai Musi. Sketsa ini diterbitkan tahun 1719 dalam dokumen VOC yang kini tersimpan di Belanda (Nationaal Archief).
2.2 Sumber Sejarawan Kolonial
Sejarawan Belanda seperti H. D. Colenbrander dan J. A. van der Chijs mencatat bahwa Palembang adalah kota pelabuhan yang penting dengan pertahanan yang luar biasa untuk ukuran kota Melayu pada masa itu. Dalam Nederlandsch-Indi disebutkan:
"Kuto Gawang dibangun dari balok kayu keras yang ditanam sedalam fondasi batu; tidak mudah ditembus, bahkan oleh meriam."
2.3 Sumber Sejarawan Nasional dan Lokal
Prof. Dr. Djajadiningrat mencatat bahwa Palembang merupakan satu dari sedikit kesultanan di Sumatera yang mempertahankan sistem pertahanan maritim dan sungai dengan teknologi adaptif (Djajadiningrat, Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra, 1960).
Selain sumber-sumber kolonial dan nasional, narasi lokal mengenai Kuto Gawang juga diperkuat oleh pandangan sejarawan lokal  Palembang, Djohan Hanafiah, yang selama puluhan tahun meneliti sejarah kota tua Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Dalam berbagai wawancara dan seminar budaya, Djohan Hanafiah menegaskan bahwa Kuto Gawang bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertahanan dan peradaban sungai. Ia menyebutkan bahwa: