JEJAK PELARIAN TIGA PANGERAN DINASTI MING DI PALEMBANG
Oleh : HG Sutan Adil
Setelah Beijing jatuh ke tangan pemberontak petani Li Zicheng di tahun 1644 M, dan kemudian Bangsa Mancuria masuk dari timur laut, banyak bangsawan dan loyalis Dinasti Ming melarikan diri. Mereka menolak tunduk pada rezim baru, Diansti Qing (1644-1912), yang dianggap “barbar” oleh rakyat Han. Dalam sejarah diaspora Tionghoa, para pelarian ini disebut sebagai "Southern Ming", kelompok bangsawan yang mendirikan pemerintahan-pemerintahan kecil di selatan hingga akhirnya terusir.
Dari Fujian dan Guangdong, para pelarian naik kapal ke arah tenggara. Jaringan pelabuhan Hokkien, relasi perdagangan dengan Melaka, Patani, dan Palembang memungkinkan proses ini berlangsung cepat. Mereka tak hanya membawa emas dan pusaka, tapi juga ilmu, teknologi, dan identitas yang akan berasimilasi dengan peradaban lokal. Sebagian menetap di Taiwan, sebagian lagi ke Filipina dan Jepang, namun tak sedikit yang menuju Asia Tenggara, termasuk ke Palembang.
Abad ke-15 sampai ke-17 adalah masa migrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Asia Tenggara, termasuk Palembang, (Anthony Reid – 1988). Reid menyebut adanya "peran strategis kota-kota pelabuhan seperti Palembang" dalam menjadi tempat pelarian elite Tionghoa pasca-Ming. Palembang adalah bagian dari jaringan dagang dan tempat aman bagi pelarian politik serta pedagang Muslim-Hokkien.
Disaat Kaisar Ming terakhir terkepung dalam istana Beijing sekitar tahun 1644 M itu. Beberapa anggota keluarga dapat melarikan diri dari kepungan dan bisa menyelamatkan diri melalui pelayaran di sungai kuning menuju Yunan, terus melayari sungai Mekong hingga ke Nusantara serta adapula yang berlindung ke pulau Makau, Taiwan, dll, sebagaimana tersebut diatas.
Dalam sejarah lisan masyarakat Baba Palembang, dikenal tiga tokoh besar yang disebut sebagai “Kapiten” atau pemimpin pelarian dari Tiongkok: Kapiten Belo, Kapiten Asing, dan Kapiten Bong Su. Ketiganya bukan sekadar pelarian biasa, namun diduga kuat merupakan bagian dari aristokrasi Dinasti Ming (1368-1644), bahkan bisa jadi adalah pangeran muda atau panglima loyalis yang memilih menyeberang demi kelangsungan darah bangsanya.
Mengapa Palembang? Karena Sungai Musi, dengan jaringannya yang luas dan pelabuhan-pelabuhan kecil, bukan sekadar jalur dagang, tapi jalur pelarian, pelukan bagi mereka yang tercerabut dari negerinya. Palembang tak hanya menjadi pelabuhan rempah, tapi juga pelabuhan harapan.
Sekitar tahun 1645 M, disaat Kerajaan Palembang dipimpin oleh Pangeran Sido Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1651 M), menerima kedatangan tiga pangeran bersaudara anak raja dari negeri Tiongkok yang melarikan diri atas kekacauan di negerinya, yaitu; Pangeran Bong Hu But, Pangeran Un A Sing dan Pangeran Bong Su We beserta para jenderal dan pengikut lainnya.
Ketiga pangeran yang beragama Islam ini, dalam silsilah Babah Palembang, yaitu zuriah keturunan ketiga kapiten Tionghoa Palembang dan sudah berasimilasi dengan budaya lokal Palembang, menerangkan bahwa tiga pangeran diatas disebutkan juga sebagai Kapitan Belo Minal Muslimin, Kapitan A Sing Minal Muslimin dan Kapiten Bong Su We