Kapiten Bong Su, Pangeran Dinasti Ming dari Tiongkok yang melarikan diri dan berlindung di Palembang
Oleh : HG Sutan Adil
Sebagaimana telah di tulis dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Terlupakan, Jejak Kapiten Bong Su di Pulau Kemaro Palembang”, sekitar tahun 1645 M, disaat Kerajaan Palembang dipimpin oleh Pangeran Sido Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1651 M), menerima kedatangan tiga pangeran bersaudara anak raja dari negeri Tiongkok yang melarikan diri atas kekacauan di negerinya, yaitu Pangeran Bong Su We, Pangeran Bong Hu But dan Pangeran Un A Sing.
Ketiga pangeran yang beragama Islam ini, dalam silsilah Babah Palembang, yaitu zuriah keturunan kapiten Bong Su dan Tionghoa Palembang lainnya serta sudah berasimilasi dengan budaya lokal Palembang, menerangkan bahwa tiga pangeran diatas disebutkan juga sebagai Kapitan Bung Suw, Kapitan Belo Minal Muslimin, dan Kapitan A Sing Minal Muslimin.
Disaat pelarian ini, mereka didampingi para jenderal yang setia sebagai kepala rombongan keluarga besar Dinasti Ming yang melarikan diri. Dimasa sejak kedatangan bangsa eropa di nusantara, pemakaian gelar Kapiten sudah jamak pemakaiannya termasuk untuk kepala golongan penduduk Tionghoa di Palembang. sehingga para pangeran yang datang tersebut selanjutnya sering juga disebut sebagai Kapiten Bong Su, Kapitan Belo Minal Muslimin, dan Kapitan A Sing Minal Muslimin.
Kapitan A sing dan Kapitan Bela/Belo, menikah dengan kerabat Kesultanan Palembang Darussalam. Kapitan A sing Minal Muslimin diangkat menjadi demang di Palembang, berkedudukan di kawasan 3-4 Ulu atau Kampung Gedong Batu (Kampung Saudagar Kocing) yang merupakan sejarah pemukiman Tionghoa Muslim Palembang. Setelah meninggal, Jenazah Kapiten A Sing ini di bawa ke Negeri Tiongkok untuk dimakamkan disana.
Sementara itu, Kapiten Belo Minal Muslimin diangkat menjadi Tiku (Pembantu) Susuhunan Palembang di Pulau Bangka untuk mengawasi penambangan timah disana, sampai akhir hayatnya dan banyak meninggalakan jejak berupa bangunan dan makam yang sampai sekarang masih banyak dikunjungi oleh zuriah di Kepulauan Bangka Belitung ataupun dari diaspora beliau lainnya.
Pada Masa Kesultanan Palembang Darussalam, imigran Tiongkok mudah membaur dengan penduduk pribumi dikarenakan keyakinan yang sama dengan agama Kesultanan Palembang Darussalam saat itu yakni Islam, sehingga bisa diterima dan memudahkan dalam proses asimilasi.
Pada perkembangan selanjutnya para imigran Tiongkok yang datang dan dimasa kolonial Belanda, dimana negeri Tiongkok saat itu sudah dikuasai Dinasti Qing (1644-1912 M) yang memusuhi kaum muslimin, khususnya dari keturunan Dinasti Ming (1368-1644 M), Kolonialis Belanda membuat kebijakan rasialis untuk mengusir imigran Tionghoa Muslim kembali ke negeri Tiongkok dan memaksa imigran Tionghoa lainnya untuk berganti keyakinan menjadi Nasrani atau kembali ke ajaran leluhur mereka, konghucu.
Bagi mereka yang mengikuti kebijakan rasialis tersebut, nantinya secara strata sosial dimasukkan sebagai warga kelas kedua bersama para pendatang dari bangsa asing lain seperti; Arab, India dan lainnya. Sedangkan penduduk pribumi asli yang mayoritas Islam diletakkan sebagai kelas ketiga. Sehingga hal inilah yang menghambat proses asimilasi selanjunya.
Di masa Kerajaan Palembang yang dipimpin oleh Pangeran Jamaluddin Mangkurat VI (1652-1659 M) yang Setelah mangkat di Sebut Sida Ing Rejek, ketiga kapiten bersaudara ini ikut berperang melawan serangan armada kapal perang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu perusahaan dagang milik Belanda yang dipimpin oleh Laksamana John Vander Laen di tahun 1659 M, yang dalam catatan buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar abad 17 dan 19 di Palembang” karya HG Sutan Adil, menyebutkan perang ini adalah sebuah perang maritim terbesar dan pertama kali terjadi di Palembang atau disebut dengan nama “Perang Benteng Pertama”.