Berdasarkan data Wikipedia, sebanyak 5.000 perompak tewas, 10 kapal dihancurkan, 7 kapal ditangkap, dan Chen Zuyi dibawa ke Nanjing untuk dieksekusi. Shi Jinqing, seorang Muslim Tionghoa, bertugas sebagai memberi informasi tentang aksi Chen, serta kemudian diangkat menjadi “Pacification Superintendent” oleh Kaisar Yongle. Peristiwa ini menjadikan Palembang secara de facto berada dalam pengaruh dan perlindungan langsung dari Dinasti Ming.
Kutipan dari Ying‑yai Sheng‑lan (Ma Huan, 1433)
“The outstanding event of the expedition occurred at San Fo‑ch’i (Sri Vijaya, Palembang) on the return journey, when Cheng Ho’s forces defeated the bands of the pirate chief Ch’en Tsu‑i, killing over five thousand men…”
“...on the return journey in 1407 he went to Palembang waters and captured Ch’en Tsu‑i. According to Ma Huan, in 1407 Shih Chin‑ch’ing visited China and was appointed governor of Palembang…”
Makna dari petikan diatas adalah menguatkan bahwa pelayaran pertama (1405–07) Cheng Ho kembali singgah di Palembang pada tahun 1407, bertempur melawan Chen Zuyi, dan menempatkan Shi Jinqing sebagai penguasa resmi.
Sebagai bentuk penghargaan dan penguatan diplomasi antara Palembang dan Dinasti Ming, Kaisar Yongle dari Dinasti Ming mengangkat seorang Tionghoa Muslim bernama Shi Jinqing (Shi Ching) sebagai perwakilan dan membantu penguasa di Palembang. Shi Jinqing dikenal sebagai tokoh yang loyal kepada Ming, dan dipercaya menjaga stabilitas wilayah Asia Tenggara, serta menjadi mitra perdagangan dan politik Tiongkok yang berpusat di Palembang
Beberapa versi lokal menyebut bahwa Shi Jinqing dikenal di kalangan masyarakat Palembang sebagai Syekh Hasanuddin, dan diduga menjadi leluhur dari komunitas Baba Palembang, yakni warga keturunan Tionghoa-Muslim yang membaur dalam budaya setempat, terutama sejak adanya pelarian tiga Pangeran Dinasti Ming yang berlindung politik (Suaka Politik) dan diterima baik oleh Kerajaan Palembang.
Sumber sejarah arus utama seperti Groeneveldt, Tome Pires, dan dokumen Dinasti Ming menyatakan bahwa Cheng Ho minimal dua kali mengunjungi Palembang, yakni pada tahun 1405 dan 1407. Namun ada dugaan kuat bahwa kunjungan ketiga dan selanjunya terjadi pada pelayaran ke-5 atau ke-6, meski tidak disebut eksplisit. Peran penting Palembang sebagai titik persinggahan strategis ini, membuatnya nyaris pasti dikunjungi dalam pelayaran muhibah Cheng Ho berikutnya.
Kehadiran Cheng Ho bukan semata-mata ekspedisi dagang atau ekonomi. Beliau jua membawa misi muhibah dalam penyebaran dan penguatan ajaran islam, diplomasi perdamaian, pertukaran budaya, dan penyebaran teknologi maritim. Bandar Palembang jelas sekali menjadi bagian dari jaringan internasional yang menghubungkan Tiongkok, India, Arab, hingga Afrika Timur.
Sampai hari ini, memori tentang Cheng Ho masih hidup dalam tradisi lisan komunitas Baba Palembang, legenda lokal, serta dalam semangat toleransi yang terbentuk antara etnis Tionghoa Muslim dan Melayu. Namun sayangnya, keberadaan Bandar Palembang yang strategis dan sangat berhubungan erat dengan Dinasti Ming melalui muhibah Laksamana Cheng Ho ini jarang sekali terpublikasi dan diteliti oleh sejarawan, apalagi oleh sejarawan Palembang itu sendiri.
Hal ini dipertegas oleh Drs. Abdul Azim Amin, M.Hum., Akademisi UIN Raden Fatah Palembang dan juga zuriah Baba Palembang, yang meyakini bahwa Laksamana Cheng Ho dan Prajuritnya adalah muslim yang taat dan dikhitan (Sunat), bukan di kebiri/vasektomi sebagaimana yang diberitakan oleh sejarawan barat selama ini.