Mohon tunggu...
A.S.Su.santi
A.S.Su.santi Mohon Tunggu... Freelancer - I hear I see

Perempuan yang gemar berkelana dalam imajinasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelas yang Merindu

29 Oktober 2020   09:44 Diperbarui: 29 Oktober 2020   10:01 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah sudah berapa lama ruangan ini tak meriuh oleh kelakar siswa dan guru di tengah-tengah proses pembelajaran berlangsung. Ruangan bercat hijau pucuk daun pisang. Kalau tidak salah mengingat ini adalah minggu ke 25 semenjak peserta didik di rumahkan. Ruangan yang menampakkam raut muram. Kursi meja yang berjumlah 28 pasang masih tak bergeming. Masih pada posisi yang sama ketika temu terakhir dengan masing-masing peserta didik yang menempatinya. Pun dengan meja guru yang berada di bagian kiri depan. Spidol masih tergeletak di atasnya bersama dengan penghapus yang salah satu ujungnya sudah retak. Mungkin akibat terjatuh ketika tak sengaja tersenggol.

Ah mungkin juga akibat keisengan peserta didik yang menjadikannya objek permainan pengganti bola tangan ketika istirahat berlangsung. Vas bunga yang berada di bagian lain meja tersebut pun masih pada posisi yang sama. Papan tulis putih yang berada tepat di tengah dinding bagian depan menghadap ke kursi dan meja siswa. Tiga gambar yang berada di atasnya yakni presiden dan wakil presiden yang masih dengan senyum yang teduh serta pancasila yang mencengkram gagah pita putih semboyang bhinneka tunggal ika.

                Kemudian terjadilah dialog di antara mereka. "Hei tidakkah kamu risih dengan debu yang menempel dipermukaanmu?" teriak sang spidol kepada bangku kosong yang ada dihadapannya. Tak ada jawaban. Semuanya masih sama seperti beberapa saat yang lalu, sunyi senyap. Kemudian penghapus berbisik pelan "Mungkin suaramu kurang kencang." Dicobanya untuk menaikkan beberapa oktaf teriakannya " Haloooo...debumu sudah terlalu tebal kawan." Namun lagi-lagi tak mendapat respon dari objek yang disapanya itu.

                Justru penggaris yang tergeletak di kaki meja baris ketiga dari depan yang kemudian bangkit. Merasa terusik dari tidur panjangnya, penggaris yang panjangnya tak lebih dari 15 cm itu menggerutu. "Bukankah ini masih libur kenapa kau segaduh ini kawan?" sang penggaris mencoba mengumpulkan nyawa. "Penggaris sejak kapan kau berada di situ?" Tanya sang spidol yang baru menyadari kehadiran penggaris di tengah-tengah mereka.

                Rupanya penggaris itu tak sengaja terjatuh ketika sang pemiliknya buru-buru memasukkan perkakas menulisnya saat pengumuman bahwa siswa akan belajar dari rumah. Pasti kala itu mereka sangat antusias dengan kabar itu. Bukankah para peserta didik selalu merindukan waktu senggang di antara banyaknya tumpukan tugas. Tapi itu dulu. Coba tanyakan sekarang, pasti mereka sangat merindukan belajar bersama teman-temannya di ruang kelas.

                Dengan sekali loncatan tanpa ancang-ancang penggaris berpindah ke atas meja. "Hei debu sudah menutupimu beberapa senti kawan" ujar penggaris menyapa sang meja melihat angka yang dicapai debu pada tubuhnya. Namun lagi-lagi tak ada sahutan dari sang meja. Sedalam itu kah duka yang ditanggungnya? Serinduh itukah ia dengan peserta didik yang kadang iseng mereyet atau paling parah sedikit membantingnya?

                Lalu spidol mendekati penggaris yang diikuti penghapus. Mereka terduduk dengan posisi bersaf. Terlarut dengan kepingan ingatannya masing-masing saat keadaan masih normal.  Spidol yang kadang kala belepotan dengan tinta yang dijejalkan kepadanya secara serampangan oleh peserta didik yang buru-buru ingin menyelesaikan tulisan di papan tulis. Penghapus yang dengan setia menghapus jejak setelah spidol menunaikan tugasnya. Serta penggaris yang tentu saja sangat menolong peserta didik pada pelajaran tertentu.

                Di tengah lamunan mereka tiba-tiba dinding berbisik dengan pelan "Semoga covid-19 lekas berlalu. "Akupun rindu suara riuh peserta didik yang terkadang memekak telinga. Rindu melihat penerus bangsa berproses menjadi tombak penerus masa depan bangsa Indonesia"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun