Siapa yang tidak kenal dengan Umarmoyo putra patih Tambi Jumiril, pemuda yang selalu bersama dengan Hamzah putra Raja Abdul Mutholib (Mekah). Nah, mengapa popularitas Umarmoyo tak kalah dengan Hamzah?
Sejak ia lahir dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Hamzah, Umarmoyo dikaruniai wajah dan tubuh lucu, dan menggemaskan. Menurut prediksi Betal jemur (Penasihat Kerajaan Medayin), kedua bayi harus selalu dibersamakan, karena kelak keduanya akan menjadi senopati pilih tanding. Mereka akan membawa masa depan Mekah yang gemilang, masing-masing memiliki kehebatan yang saling melengkapi.Â
Saat mereka tumbuh menjadi anak-anak oleh kedua orang tuanya disaudarakan seolah seperti kakak dan adik, keduanya sangat akrab, walau dengan karakter yang sangat beda. Hamzah anak yang sangat tampan, cerdas, tegas, serius dalam segala urusan, dan diberi anugerah kesaktian luar biasa.Â
Sedang Umarmoyo anak yang sangat santui, selengekan, tidak bisa bicara dengan kalimat halus (kromo), sembrono, suka bikin ulah, julig, cerdik, dan sangat lucu. Â Ada satu kesamaan diantara anak hebat ini, sama-sama memiliki hati yang baik, tak ada niat jahat sedikitpun.
Berulah di Pesantren Balki
Raja Abdul Mutholib sangat mengkhawatirkan tingkah kedua anak ini, yang selalu kompak bermain, dan berkelahi, atau bikin ulah, menyalahgunakan kekuatan fisik yang dimiliki masing-masing, bila dibiarkan maka akan menjadi pemuda yang bengal. Sehingga diutuslah Abu Thalib dan Abas untuk mengirim mereka ke perguruan (pesantren) di Balki, supaya mendapat bimbingan guru spiritual.
Hamzah menjadi santri yang sangat pandai, semua pelajaran dari Kyai bisa diterima dan dipahami sepenuhnya, sedangkan Umarmoyo sesungguhnya tidak kalah cerdas, namun watak santuinya membuat ia terkesan malas.Â
Suatu ketika Umarmoyo menyimpulkan dari sekian lama pengamatannya, bahwa Sang Guru jarang sekali bersedekah, maka dengan kecerdikannya umarmoyo mengambil sandal (bakiak) gurunya untuk dijual kepada pedagang kue, untuk ditukar dengan kue yang dijualnya. Kemudian Umarmoyo membawa kue tersebut dalam kelas, dan dibagi-bagikan kepada semua teman sekelas, pun juga pada gurunya.
Setelah pembelajaran usai, Sang Guru kebingungan karena sandalnya tidak ada, semua santri turut mencari namun tak menemukannya. Akhirnya Sang Guru pulang ke ndalem tanpa alas kaki, dekat dengan pesantren beliau bertemu dengan pedagang kue, ia menceritakan bahwa tadi Umarmoyo menukarkan sandal dengan kue. Bagaimana reaksi Sang Guru? Beliau hanya tertawa, tidak ada ekspresi marah, beliau sangat memahami karakter santrinya yang satu ini.
Sepenggal kisah Hamzah, dan Umarmoyo masa muda, disari dari Kitab Serat Menak (Yosodipuro I, Yogjakarta, 1933).Â