Sabtu, 15 Pebruari 2025 sekira jam 09.30-an kami bersama rombongan sampai di tepi pantai Sayung Demak, suasana terpantau ramai peziarah. Meraka antri berjajar untuk naik perahu yang akan mengangarkan ke makam terapung Syekh Abdullah Mudzakir. Makam beliau populer dengan keunikkannya, karena makam ini berada sekitar 3 km dari bibir pantai, sehingga secara luas dikenal dengan sebutan makam terapung.Â
Untuk sampai pada titik tujuan semua peziarah harus naik perahu kecil (kapasitas penumpang 8 orang), kami rombongan sejumlah 7 orang pun segera naik ke perahu yang telah sigap disana. Perjalanan kali ini cukup memacu adrenalin, kebetulan siang itu ombak cukup tinggi, tak seperti biasa, sehingga perjalanan menjadi lebih lambat karena harus mengikuti irama ombak. Perjalanan normal kurang lebih 15 menit, tapi kami bersama rombongan baru bisa bersandasr di samping makam setelah perjalanan 20 menitan.
Sebenarnya dahulunya Dusun Tambaksari tempat dimana makam Mbah Mudzakkir berada adalah daratan. Namun karena terus – menerus terkena banjir rob air laut lama – kelamaan daratan itu mengalami abrasi sehingga keberadaan makam Mbah Mudzakkir berada makin jauh terpisah dari daratan.
Perjalanan kami diantar khusus oleh salah satu pengurus makam, perahu yang mengantar juga secara khusus menunggu kami hingga selesai ziarah. Sedang perahu yang mengantarkan peziarah umum langsung balik ke tempat mangkal dengan membawa peziarah yang akan kembali ke terminal awal tadi, dan kemudian perahu akan kembali lagi untuk mengantarkan penumpang yang lain, begitu seterusnya.
Kedatangan kami sudah ditunggu oleh penjaga makam, segera pengurus makam membukakan pintu masuk pusara makam, kemudian kami bersama rombongan segera masuk. Sementara peziarah umum disediakan tempat membacakan tahlil dan doa dari luar pagar makam Mbah Mudzakir.Â
Mengapa bisa mendapatkan perlakuan khusus sedemikian? Ya tak lain karena kami datang bersama salah satu buyut dari Mbah Mudzakir, yaitu K. Syamsul Huda, kyai muda putra dan penerus dakwah dari KH. Zuhri (alm). KH. Zuhri adalah putra menantu dari Mbah Mashudi, yang dinikahkan dengan putrinya bernama Bu Nyai Nidhofah. Sedangkan Mbah Mashudi merupakan salah satu putra Mbah Mudzakir dari Bu Nyai Lathifah.Â
Realita ini menunjukan bahwa syair para wali terbukti, 'Wong kang sholih kumpulono' (berkumpulah dengan orang sholih); kita ikut saja sudah terinduksi kemuliaannya. Â
Kyai Zuhri semasa hidupnya sangat getol dakwah agama, sehingga atsar perjuangannya masih terus bisa kita jadikan pelajaran, diantaranya peninggalannya sampai kini masih kokoh berdiri, dan berkembang adalah MTs dan MA Miftahul Ulum. Beliau juga menjadi salah satu sesepuh dari Pondok Pesantren Subulus Salam (Sullam), yang berada di Desa Weding, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak.Â