Mohon tunggu...
Suselo Suluhito
Suselo Suluhito Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Satu Tangis Sri Mulyani Untuk Ratusan Juta Senyuman Rakyat Indonesia

15 November 2012   08:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:19 2560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2008, gelombang krisis menimpa Indonesia lagi. Skalanya bukan lagi skala Asia, tapi skala global. Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI kala itu, dihadapkan pada ancaman krisis yang lebih besar dari krisis moneter 1998.

Pemerintah tentu belajar dari pengalaman krisis 1998. Cadangan devisa yang hanya 33,8 miliyar US dollar pada tahun 1998, telah diperkuat menjadi 69,1 miliyar US dollar tahun 2008. APBN yang hanya 172,7 triliyun rupiah tahun 1998, juga meningkat menjadi 989,5 triliyun rupiah tahun 2008. Fondasi perekonomian tahun 2008 sudah jauh lebih kuat dari tahun 1998.

Tapi gejala kehancuran ekonomi negara sudah terlihat tanda-tandanya. Nilai IHSG merosot tajam. Pertanda investor mulai menarik dananya besar-besaran, sama seperti tahun 1998. Pemerintah melakukan langkah heroik dengan menutup BEI selama beberapa hari untuk mencegah larinya uang ke luar negeri. Beberapa bank juga menunjukkan tanda-tanda ‘sakit’. Diantara bank yang ‘sakit’ itu adalah Bank Century.

Sri Mulyani, dengan statusnya sebagai menteri keuangan, menjadi 'jendral tertinggi' perang melawan krisis moneter. Beliaulah menteri yang mampu rapat dua hari dua malam nonstop untuk menyelamatkan keuangan negara. Rapat itu tidak boleh berhenti karena lengah sedikit berakibat pada kebangkrutan ekonomi nasional. Rapat itu tentu melelahkan karena angka-angkalah yang akan terus berseliweran. Angka-angka yang rumit: kurs, suku bunga, devisa, likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya. Angka-angka itu saling bertentangan, tapi menteri tidak boleh memilih salah satunya. Dia harus membuat keputusan yang harus memenangkan semua angka yang saling merugikan itu.

Permasalahan Bank Century adalah satu dari sekian banyak masalah yang harus dihadapi kala itu. Dengan kondisi negara yang sedemikian gawat, Sri Mulyani dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan berasumsi tutupnya Bank Century akan berdampak sistemik seperti tahun 1998. Hingga akhirnya keluarlah kebijakan bailout untuk mencegah kolapsnya Bank Century.

------------------------------------------------

Beberapa bulan lalu, Jusuf Kalla membuat kesaksian dihadapan DPR bahwa kewenangan menteri keuangan sudah kelewatan. Kebijakan keuangan dengan nominal 6,7 triliyun rupiah itu harus melalui presiden. Jusuf Kalla juga beranggapan bahwa asumsi kolapsnya Bank Century berdampak sistemik itu tidak tepat karena Bank Century adalah bank kecil. Menurut dia, tidak sepatutnya kesalahan sebuah bank harus ditanggung rakyat.

Tentu saya paham maksud beliau. Argumen beliau juga ada benarnya. Tapi, Jusuf Kalla hanyalah wakil presiden. Bukan 'jendral lapangan' yang harus rapat dua hari dua malam berhadapan langsung dengan angka-angka makro ekonomi yang saling mematikan. Dimana pergulatan angka-angka tersebut akan menetukan nasib bangsa yang berada bibir di jurang kehancuran.

Selasa minggu depan(20/11/2012), KPK akan menghadap DPR untuk gelar perkara kasus Century. KPK juga akan menetapkan nama-nama yang menjadi tersangka kebijakan bailout ini. Kalau saja Sri Mulyani tidak ditipu dan pemilik Bank Century tidak kabur, sungguh gelar perkara ini tidak perlu ada.

Saya takut, kita akan kehilangan seorang menteri yang di saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno Sriningsih Satmoko, sedang sakit keras menjelang ajalnya, dia tidak bisa menengok sekejap pun. Dia memilih mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan emosinya untuk menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dia tidak bisa menjenguk ibu kandungnya yang jaraknya hanya 45 menit penerbangan di Semarang sana.

Sri Mulyani harus mencucurkan air mata untuk dua kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi. Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah terus bergerak hancur dan detak jatung ibunya juga terus melemah. Dan, Sri Mulyani memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun