Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bandar Seri Begawan

6 Agustus 2015   20:01 Diperbarui: 6 Agustus 2015   20:01 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiba-tiba saya teringat kota Rengat dan Tembilahan. Ibukota Kabupaten Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir, Provinsi Riau. Dua kota di pinggir sungai Inderagiri, yang dominan dengan kehidupan air tawar; sungai atau rawa. Sekian puluh tahun lampau, saya hidup di daerah itu.   Daerah pedalaman Sumatera yang khas, terasa kering, sulit disebut indah, tetapi mengundang nostalgia tersendiri.

Ingatan itu muncul kembali, saat 2 minggu lalu, “terdampar” di ibukota Kesultanan Brunei, Bandar Seri Begawan. “Terdampar”, karena bukan sengaja. Lebih banyak diwarnai “bonus” saat terbang dengan Royal Brunei Airline, menuju Jakarta.    Setelah mendarat, nian, situasi dan keadaan ibukota negara yang kaya-raya itu, alamnya mirip Rengat atau Tembilahan, kecuali tentunya lebih bersih, dan terawat.

Brunei International Airport, sore itu sudah disergap senyap. Sinar matahari mulai temaram, meski bangunan di kanan-kiri bandara masih terlihat dengan jelas. Haji Johari, demikian dia memperkenalkan diri, mendatangi kami, dan menyapa dengan ramah.   “Saya bertugas membawa tuan, antar ke Hotel Radison”. Dan tanpa terasa, kami bertiga sudah terlibat dalam diskusi seru di cab miliknya.

“Brunei sepi, penduduknya hanya 400 ribu jiwa. Bandar hanya 20 ribu. Saya tahu, Jakarta jauh lebih ramai”.

Do you know how many people living in Jakarta”.

“Sure, much more than Bandar. Satu juta bukan?”.

Do you know how many Indonesia population?”.

Of course, 50 juta bukan?”.

(Terperanjat kepala dan terbelalak mata Haji Johari, saat tahu Jakarta dipenuhi dengan 15 juta orang dan warga negara Indonesia adalah 250 juta. Ternyata, rakyat di negara tetangga terdekat pun tak tahu banyak tentang Indonesia)

Sepanjang 30 menit perjalanan ke Radison, Haji Johari ngecuprus, penuh puja-puji kepada Indonesia, negara yang serba punya, kaya, loh jinawi, tata-tentrem, kerta rahardja. “Sebutkan apa yang tak dipunyai Indonesia”. Saya terdiam mendengar pertanyaannya yang bernada retoris itu.   Raut mukanya serius, tulus, bukan basa-basi. Demikian pendapat orang luar tentang Indonesia Raya tercinta ini. Tidak salah, tepatnya, belum menjadi kenyataan.

Malam hari, Hotel Radison menuju pusat kota, “Gadong main street”, hanya sejauh 15 menit jalan kaki. Nightlife di Bandar Seri Begawan hanya diramaikan sekitar 5 restoran. Masing-masing dengan 2-3 orang tamu di dalamnya. Namun, masakan Italia yang kami nikmati, enak luar biasa. Ketiga waiters dan satu juru masak, semuanya dari Filipina. Saya clingak-clinguk, mencari orang Indonesia. Kemana mereka? Mengapa harus Filipina? Tiba-tiba, rindu mendengar celoteh dalam bahasa Jawa, atau Sunda, yang biasanya bernada riang dan jenaka. Sayang, mereka tidak ada di sana. (Kemudian, di sebuah proyek pembangunan jembatan penyeberangan, 1 kilometer dari pusat kota, ada sekitar 10 orang Indonesia yang sedang bekerja. Mereka berkomunikasi dalam Bahasa Jawa).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun