"Sekarang sumber air su dekat, beta sonde pernah terlambat lagi. Karena mudah ambil air, katong bisa hidup sehat." Begitulah cuplikan iklan layanan masyarakat di daerah yang sudah menikmati akses air bersih.
Namun, di pelosok NTT lainnya, seorang ibu bernama Muet harus berjalan hampir lima kilometer hanya tuk mendapatkan setimba air. Kisah Muet mencerminkan keterbatasan akses air bersih yang masih dialami ribuan keluarga di NTT. Masalah ini tidak hanya tentang kebutuhan dasar air, tetapi juga berkaitan langsung dengan ancaman serius bagi kesehatan anak-anak, khususnya stunting.
Keterbatasan air bersih berkaitan erat dengan tingginya angka stunting. Menurut UNICEF (2021), lebih dari 4,5 juta balita di Indonesia mengalami stunting. Data Survei Kesehatan Indonesia (2023) menunjukkan NTT menempati posisi kedua tertinggi dengan prevalensi 37,9%, jauh di atas rata-rata nasional. Target RPJMN bahkan menargetkan penurunan stunting menjadi 14,2% pada 2029 dan 5% pada 2045. Tantangan ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan air bersih dan sanitasi yang masih terbatas di banyak wilayah.
Apa Itu Stunting dan Dampaknya
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Dampaknya bukan sekadar anak bertubuh pendek, tetapi juga menurunkan perkembangan otak, mengurangi daya tahan tubuh, dan menurunkan produktivitas di masa depan (Kemenkes RI, 2016). Anak-anak yang mengalami stunting lebih rentan terhadap penyakit infeksi, kesulitan belajar, dan memiliki kesempatan hidup yang terbatas. Dengan demikian, stunting bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga ancaman serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan pembangunan nasional.
Air Bersih, Sanitasi, dan Stunting
Air bersih merupakan fondasi utama kesehatan masyarakat. Dalam konteks stunting, akses air layak dan sanitasi memegang peran penting mencegah penyakit infeksi yang mengganggu penyerapan gizi. Anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan air tidak layak lebih sering mengalami diare kronis, infeksi saluran pencernaan, hingga cacingan. Penyakit ini menyebabkan hilangnya cairan, elektrolit, dan nutrisi penting, sehingga makanan yang dikonsumsi anak tidak dapat dimanfaatkan secara optimal (Humphrey, 2009; Ngure et al., 2014).
Fenomena ini nyata di NTT. Berdasarkan Statistik Air Bersih Provinsi NTT 2023, masih terdapat beberapa kabupaten/kota yang belum memiliki PDAM aktif, dan distribusi air belum merata hingga ke semua kecamatan. Banyak masyarakat masih mengandalkan sumur gali, mata air, atau menadah air hujan---sumber air yang kualitasnya rawan terkontaminasi bakteri dan parasit usus.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan dengan sanitasi buruk berisiko tinggi mengalami gangguan usus kronis akibat paparan kuman berulang, yang menghambat penyerapan gizi. Kondisi ini menjelaskan mengapa anak yang tampak diberi makanan bergizi pun tetap mengalami gagal tumbuh.
Selain itu, keterbatasan air juga memengaruhi praktik kebersihan harian. Keluarga yang kesulitan mendapatkan air cenderung memilih untuk menggunakannya hanya untuk memasak atau minum, sementara mencuci tangan, peralatan makan, dan menjaga kebersihan lingkungan menjadi terbengkalai. Akibatnya, penyakit menular mudah menyebar, memperparah risiko stunting.
Air bersih juga berperan dalam pendidikan gizi. Tanpa air yang aman, upaya memberikan ASI, memasak makanan bergizi, atau mengolah sayuran segar menjadi tidak efektif. Dengan kata lain, akses air layak menjadi prasyarat agar strategi gizi dan kesehatan anak berhasil.
Bukti Penelitian: Air Bersih Mengurangi Risiko Stunting
Berbagai penelitian menunjukkan hubungan langsung antara stunting dan akses air bersih. Penelitian oleh Tri Mulyaningsih dkk. (2021) menemukan bahwa anak yang tidak memiliki akses air bersih berisiko 36% lebih tinggi mengalami stunting. Sementara penelitian di Rwanda oleh Hester Kalinda dkk. (2023) menunjukkan bahwa penggunaan air keran menurunkan kemungkinan stunting hingga 75%, sedangkan anak-anak dari rumah tangga tanpa toilet layak memiliki risiko lebih tinggi dibanding yang memiliki fasilitas sanitasi. Temuan-temuan ini menegaskan bahwa penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak bukanlah pelengkap, tetapi fondasi utama dalam strategi penurunan stunting. Tanpa air bersih, intervensi gizi akan kurang efektif karena penyakit infeksi dapat merusak penyerapan nutrisi.
Kondisi Geografis dan Sosial NTT
NTT menghadapi tantangan geografis dan sosial-ekonomi yang kompleks. Wilayahnya terdiri dari lebih dari 500 pulau dengan iklim kering, musim hujan singkat, dan curah hujan rendah. Tanah berbatu membuat cadangan air sulit tersimpan, sehingga kekeringan terjadi hampir setiap tahun.
Mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian lahan kering, peternakan, dan perkebunan. Hasil panen sering tidak stabil karena keterbatasan air, dan tingkat kemiskinan tetap tinggi, yaitu 18,6% pada Maret 2025 (BPS NTT, 2025). Kondisi alam, ekonomi, dan infrastruktur yang terbatas meningkatkan kerentanan terhadap stunting, terutama pada anak-anak dari keluarga miskin atau terpencil.
Mengapa Air Bersih Jadi Kunci?
Air bersih adalah kunci memutus siklus stunting. Pertama, air layak menjamin makanan anak dan ibu hamil aman dari kontaminasi. Kedua, ketersediaan air cukup memungkinkan praktik kebersihan rutin, seperti mencuci tangan dengan sabun, membersihkan peralatan makan, dan menjaga kebersihan rumah. Tanpa air, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sulit diterapkan secara konsisten.
Studi Mulyaningsih dkk. (2021) menunjukkan risiko stunting 36% lebih tinggi pada anak yang tidak memiliki akses air bersih. Kalinda dkk. (2023) menambahkan, penggunaan air keran mampu mengurangi risiko stunting hingga 75%. Ini menunjukkan bahwa intervensi air bersih sama pentingnya dengan pemberian makanan bergizi. Tanpa air aman, gizi baik sekalipun bisa hilang sia-sia akibat infeksi.
Dalam konteks NTT, air bersih adalah "kunci awal" strategi penurunan stunting. Pembangunan gizi tanpa memperhatikan akses air ibarat mengisi ember bocor---nutrisi ditambah, tetapi tubuh tetap gagal tumbuh. Oleh karena itu, penyediaan air bersih harus diprioritaskan setara dengan program perbaikan gizi.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Mengatasi stunting di NTT tidak cukup hanya dengan memberikan makanan bergizi. Diperlukan strategi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan individu. Langkah praktis meliputi:
- Memperluas cakupan PDAM hingga pelosok desa dan berinvestasi pada teknologi penyediaan air di daerah kering.
- Masyarakat aktif menjaga kebersihan lingkungan, mengelola limbah, dan membiasakan cuci tangan pakai sabun. Air yang tidak aman harus dimasak hingga mendidih sebelum digunakan.
- Edukasi ibu hamil dan keluarga balita mengenai gizi, ASI eksklusif, kebersihan makanan, dan perilaku hidup bersih.
- Kolaborasi lintas sektor, termasuk swasta dan LSM, mendukung program WASH (Water, Sanitation, and Hygiene).
- Pemberdayaan komunitas menjadi kunci keberhasilan. Desa-desa dapat dilatih membangun sistem sanitasi sederhana dan mengedukasi keluarga tentang PHBS, sehingga program berkelanjutan meski dengan keterbatasan sumber daya.
Penutup
Selama ibu seperti Muet masih harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan air, perjuangan melawan stunting di NTT tetap berat. Namun, dengan kerja sama lintas sektor, kepedulian masyarakat, dan komitmen pemerintah, NTT dapat mewujudkan generasi bebas stunting.
Bae sonde bae, NTT lebe dan harus bae tanpa stunting.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik NTT. (2023). Statistik Air Bersih Provinsi NTT 2023. Kupang: BPS.
Badan Pusat Statistik NTT. (2025). Persentase Penduduk Miskin Maret 2025. Kupang: BPS.
Cumming, O., & Cairncross, S. (2016). Can water, sanitation and hygiene help eliminate stunting? Maternal & Child Nutrition, 12(Suppl 1), 91--105.
Humphrey, J. H. (2009). Child undernutrition, tropical enteropathy, toilets, and handwashing. The Lancet, 374(9694), 1032--1035.
Kalinda, H., Phiri, M., Qambayot, M. A., Ishimwe, M. C. S., Gebremariam, A., Bekele, A., & Wong, R. (2023). Socio-demographic and environmental determinants of under-5 stunting in Rwanda. BMC Public Health, 23(1), 1--12.
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Mulyaningsih, T., Mohanty, I., Widyaningsih, V., Gebremedhin, T. A., Miranti, R., & Wiyono, V. H. (2021). Beyond personal factors: Multilevel determinants of childhood stunting in Indonesia. PLOS ONE, 16(11), e0259143.
Ngure, F. M., et al. (2014). Water, sanitation, and hygiene (WASH), environmental enteropathy, nutrition, and early child development. Maternal & Child Nutrition, 10(3), 355--366.
Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016). Determinants of stunting in Indonesian children. Maternal & Child Nutrition, 12(2), 24--35.
UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress. New York: UNICEF.
UNICEF. (2021). The State of the World's Children 2021. New York: UNICEF.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI