Mohon tunggu...
surya ramadhana
surya ramadhana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang saat ini bekerja di BPS Kabupaten Buru Selatan, Maluku

Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Potensi dan Hambatan E-commerce di Indonesia

25 Februari 2019   12:27 Diperbarui: 26 Februari 2019   08:55 2721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi e-commerce | sumber: themaghrebtimes.com

Di era berbasis industri 4.0 telepon seluler (ponsel) sudah menjadi kebutuhan utama. Keberadaannya terkadang setara dengan kebutuhan dasar manusia itu sendiri yang berupa sandang, pangan, dan papan. Tak jarang kita menemui orang yang berpakian biasa-biasa saja tetapi memiliki ponsel keluaran terbaru.

Pasalnya selain berfungsi sebagai alat komunikasi, ponsel juga bisa mengukur seberapa jauh eksistensi seseorang ditambah kemampuannya yang bisa tekoneksi dengan dunia maya melalui internet.

Sejalan dengan hal tersebut, dalam publikasi Statistik Telekomunikasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa rumah tangga yang memiliki akses internet terus bertumbuh selama 4 tahun terakhir.

Di tahun 2017 sudah lebih dari 50 persen rumah tangga memiliki akses internet. Bahkan jika dirinci berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan selisih angkanya mulai mengecil, persentase akses internet di perkotaan sebesar 70,89 %.

Sementara rumah tangga pedesaan yang memilkik akses internet sebesar 41,99%. Angka tersebut diprediksi akan terus bertambah mengingat di tahun 2019 ini kominfo dengan palapa ringnya menargetkan seluruh kabupaten di Indonesia (514 Kabupaten) akan terhubung internet dengan kualitas dan kecepatan yang sama.

Hubungan antara ponsel dan internet semakin diperkuat oleh data lain yang menyebutkan bahwa di tahun 2017 sebanyak 92,78% rumah tangga mengakses internet melalui ponsel. Itu artinya, hampir seluruh rumah tangga yang terhubung internet pernah menggunakan ponsel sebagai media koneksnya.

Tingginya penetrasi internet dan ponsel di Indonesia membuat banyak perusahaan digital baik lokal ataupun internasional melirik Indonesia sebagai negara yang potensial secara bisnis, terutama di sektor perdagangan elektronik (e-commerce).

Tak mengherankan jika banyak perusahaan e-commerce bermain di Indonesia. Pasalnya, data dalam publikasi Statistik Telekomunikasi mencatat 14,67% rumah tangga menggunakan internet bertujuan untuk melakukan aktivitas jual beli barang dan jasa. Perusahaan seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan perusahaan lainnya adalah bukti bahwa e-commerce di Indonesia sangat menjanjikan. 

Pada dasarnya perusahaan e-commerce hanyalah tempat untuk mempertemukan pembeli dan penjual secara virtual. Ekosistem e-commerce memungkinkan untuk memotong rantai distribusi barang  sehingga harga lebih bersaing secara ekonomi.

Barang bisa langsung terdistribusi dari konsumen ke produsen tanpa melewati banyak agen-agen perdanganan. E-commerce pun banyak membantu Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) untuk menemukan pembelinya.

UMKM yang cenderung minim modal dapat berjualan secara gratis, bahkan beberapa dari mereka tidak memiliki toko fisik. Namun dibalik besarnya potensi pasar digital terdapat juga besarnya tantangan yang harus dihadapi. Tantangan tersebut dapat terurai berdasarkan produksi, jalur distribusi, dan konsumsi.

Hambatan e-commerce 
Dari sisi produksi, e-commerce bukan penjual ia hanyalah tempat mempertemukan penjual dan pembeli. Penjual di pasar digital adalah pengusaha yang didominasi oleh UMK dan UMKM, sayangnya data angka dari Sensus Ekonomi Lanjutan 2016 menyatakan bahwa hanya 9,76% UMK (Usaha Mikro Kecil) yang menggunakan internet dalam usahanya.

Minimnya angka UMK yang menggunakan internet dapat diduga dibalik kemudahan menggelar lapak di e-commerce  ternyata masih terdapat gap antara akses UMK dengan e-commerce. Ekosistem digital di lingkup UMK masih jauh panggang dari api.

Selain itu jalur distribusi barang juga merupakan tantangan yang dapat menghambat e-commerce. Memang e-commerce dapat menghilangkan agen-agen tengah pedagangan, namun tetap saja memelurkan agen kurir untuk mengantarkan barang pesanan. Besarnya wilayah Indonesia membuat distribusi barang menjadi kendala. Salah satu kendalanya adalah disparitas jumlah perusahaan kurir antar pulau di Indonesia.

Disparitas tersebut tergambarkan dalam data Sensus Ekonomi Lanjutan 2016 yang menyebutkan 66,3% berada di Jawa sedangkan sisanya 33,7% di luar Jawa.

Hal ini diperparah dengan naiknya biaya transportasi terutama kenaikan harga tiket pesawat yang terjadi akhir-akhir ini. Perusahaan kurir banyak yang mengirimkan barangnya antar pulau melalui pesawat untuk mempercepat proses pengiriman. Kenaikan harga tersebut tergambar pada inflasi bulanan bulan Desember kemarin yang mencatat inflasi bulanan sub kelompok transportasi sebesar 1,93%.

Kondisi tersebut yang akhirnya membuat beberapa perusahaan kurir menaikan biaya sebesar 10% untuk sejumlah daerah. Sudah barang tentu kenaikan akan berdampak pada semakin banyaknya biaya yang dikeluarkan konsumen untuk ongkos kirim barang di e-commerce.

Hal ini akan membuat konsumen berpikir ulang untuk transaksi di e-commerce. Meskipun sering kita temui promo potongan biaya ongkos kirim tetapi nilainya tidak cukup menutupi biaya ongkos kirim terutama ke luar jawa.

Dari segi konsumsi sedikit banyak dapat tergambarkan dari pertumbuhan ekonomi. Nilai pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan di angka lima persen menggambarkan iklim ekonomi di Indonesia sedang 'mendung'.

Dirinci lebih dalam, laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam tiga tahun terakhir tidak beranjak di angka lima persen. Berturut-turut dari tahun 2015-2017 sebesar; 4,96% , 5,01% , 4,95%.

Stagnanya pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa diduga dua hal. Pertama bahwa rumah tangga cenderung untuk menahan konsumsinya, dialihkan untuk menabung. Kedua rumah tangga tidak mampu membeli barang. Singkatnya, daya beli masyarakat sedang lesu. Sudah tentu hal ini akan berdampak ke seluruh aktivitas jual beli, termasuk jual beli di e-commerce.

Kesimpulan
Dibalik kecermelangan e-commerce dalam menangkap potensi internet di Indonesia terdapat tantangan dari hulu ke hilir distribusi barang.

Dari sisi internal, e-commerce memang tidak bisa mengatur harga barang dan ongkos kirim, mereka hanya dapat memotong jalur distribusi selebihnya merupakakan ranah pemerintah.

Indikator-indikator makroekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi turut berperan dalam keputusan pembeli untuk membeli barang di e-commerce.

Diperlukan kebijakan-kebijakan pemerintah demi keberlangsungan e-commerce di kemudian hari seperti misalnya subsidi ongkos kirim barang terutama pesawat dan kapal, memperbaiki daya beli masyarakat, mendorong akses UMK untuk memanfaatkan internet sebagai salah satu sarana menjualkan barang, dsb.

Sinergi antara pemerintah dan e-commerce sangat diperlukan karena sejatinya visi e-commerce searah dengan tujuan pemerintah yaitu membagikan 'kue' ekonomi sama rata ke 262 juta penduduk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun