Mohon tunggu...
Suryani Amin
Suryani Amin Mohon Tunggu... -

Penyuka jalan jalan dan tulisan tentang perjalanan. Sosiolog, bekerja sebagai Konsultan untuk Adaptasi Perubahan Iklim di lembaga bantuan pembangunan Internasional di Jakarta. Menulis fiksi dan mendokumentasikan perjalanan adalah minatnya diluar pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lontong dan Tahu Isi di Gerbong Kereta

15 September 2016   21:46 Diperbarui: 15 September 2016   22:31 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Teh,  mau gorengan ?

Oh gak, makasih

 

Kalau tidak ingat porsi besar asupan sarapan pagi  tadi di perut, niscaya saya  sudah menyambar  tawaran itu.  Lagipula, dengan  bobot tubuh yang semakin mengkuatirkan macam ini, gorengan  bukan “teman baik” belakangan .  Eits  tapi ini sama sekali bukan cerita tentang saya dan berat badan .  Sungguh bukan topik menarik.  Mari akhiri disini.

Tawaran itu datang dari  pedagang gorengan di gerbong wanita.  Saya tidak ingat apakah dia juga meneruskan dagangan  ke gerbong lain  selain gerbong yang  dikhusukan untuk  wanita.  Gerbong campur sebisa mungkin saya hindari  dipagi  penuh sesak.   Setidaknya bisa mengamankan diri dari risiko pelecehan  seksual . Baik yang disengaja maupun tidak.

Sudah beberapa kali saya bertemu orang yang sama. Dia, wanita berwajah oriental dengan  berpanggul besar. Rambut panjangnya seperti biasa dikuncir. Usianya mungkin di angka awal tigapuluh tahun.   Dagangannya ditaruh dalam tas berbahan terpal berukuran sedang.   Satu tas kain kecil diselempangkan dibahu. Berfungsi sebagai  wadah uang. Setiap kali saya lihat, selalu  mengenakan celana yang membungkus  erat kakinya dipasangkan dengan atasan kaos.  Sandalnya teplek berbahan plastik. Kostum   yang memudahkan mobilitas digerbong kereta yang sesak.

Jenis  jajanannya beragam, mulai dari tahu isi, risol dan bakwan. Diluar gorengan, ada juga   lontong berisi sedikit  campuran tumisan wortel  dan kentang .  Dijual seharga tiga ribu  rupiah setiap  potongnya. Sedikit lebih mahal dari  jajanan sejenis yang banyak  disekitar stasiun. Namun terbilang wajar  dengan ukuran jajanan yang lebih besar. Masih terjangkau  untuk kebanyakan orang.  Dari ukuran gorengan  yang tidak standar standar, si teteh sepertinya memang menyiapkaan sendiri gorengannya. Atau setidaknya menerima titipan dari sumber lain.

Sejak  penataan  infrastruktur stasiun kereta dilakukan, para pedagang ikut ditertibkan. Tidak satupun pedagang diperbolehkan  berjualan dalam kawasan stasiun. Baik pedagang yang menghuni ruko atau asongan.  Nah, demi mengelabui petugas, si teteh harus berusaha sesedikit mungkin menarik perhatian .   Saya pernah menyaksikan sendiri,  adu argumen antara  seorang wanita  lain yang diduga juga berdagang  dengan petugas stasiun.  

Si Ibu menyangkal dituduh berdagagang. Memang tidak ada bukti barang dagangan yang ditemukan. Kecurigaan petugas hanya karena si Ibu setiap hari duduk berjam-jam ditempat yang sama di kursi tunggu bercat orens di peron.  Mungkin itu sebabnya si teteh berwajah oriental ini memilih berdagang secara sembunyi-sembunyi demikian. 

Si teteh  berjualan didalam gerbong kereta.    Pekerjaan yang tidak mudah. Di jam  rusuh pagi hari,  gerbong penuh sesak dengan penumpang.  Si teteh harus bermanuver disela-sela penumpang tubuh.  Menyisip diantara tas, bahu, pantat dan kaki. Satu tangan menenteng  tumpukan gorengan yang  pasti tidak ringan.  Setiap langkah , sedikit berbisik  ia menawarkan dagangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun