Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi #1: Putih

24 Juli 2016   23:01 Diperbarui: 26 Juli 2016   10:55 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Indonesia + istri dan wakilnya + istri (Sumber: http://m.tempo.com)

Jauh ke inti yang terdalam: kontras putih-hitam itulah dasar rasisme yang membusukkan kemanusiaan di bumi ini. Walau wacana dunia mengutuk rasisme, tampaknya ia belum akan hilang. Ini mengingatkan kita pada sindiran Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe, yang negerinya pernah diperintah oleh minoritas orang putih yang menganggap pribumi berkulit hitam sebagai budak.

Racism,” kata Mugabe, “will never end as long as white cars are still using black tyres. Racism will never end if people still use black to symbolize bad luck and white for peace. Racism will never end if people still wear white clothes to weddings and black clothes to funerals. Racism will never end as long as those who don’t pay their bills are blacklisted not whitelisted. Even when playing snooker. You haven’t won until you’ve sunk the black ball, and the white balls must remain on the table. But I don’t care, as long as I’m still using white toilet paper to wipe my black butt, I’m fine!

"Rasisme tidak akan pernah hapus selagi mobil putih masih memakai ban berwarna hitam. Rasisme tidak akan pernah hapus selagi orang masih menggunakan warna hitam untuk menyimbolkan nasib buruk dan warna putih untuk perdamaian. Rasisme tidak akan pernah hapus selagi orang masih memakai pakaian warna putih ke perkawinan dan warna hitam ke pemakaman.

Rasisme belum akan hapus selagi orang yang tidak membayar tagihan di-blacklist, bukan di-whitelist. Bahkan [juga] ketika bermain bola sodok. Anda tidak pernah dinyatakan menang sebelum berhasil memasukkan bola hitam, dan bola putih tetap harus berada di atas meja bilyar. Tapi saya tak peduli, sepanjang saya masih menggunakan tisu toilet berwarna putih untuk mengelap pantat hitam saya, saya sih oke-oke saja."

Dan kini, lihatlah pakaian resmi para gubernur, wali kota, camat, hingga wali nagari ketika dilantik: pakaian mereka berwarna putih. Lihat pula pakaian resmi pegawai negeri yang diperkenalkan oleh Rezim Jokowi: kemeja putih berlengan panjang.

Sadar atau tidak, arketipnya dapat dicari ke masa lampau, yaitu warna pakaian Tuan Gubernur Jenderal, Tuan Residen, dan Tuan Kontroler. Dengan kata lain: putih adalah warna kekuasaan, dan hitam adalah warna kawula, warna orang yang terperintah. Namun, warna putih yang bersih dan suci itu sering bersemuka dengan hal-hal uang buruk dan menakutkan, mengingatkan kita pada penampilan hantu pocong dan mayat dalam kafan yang dimasukkan ke liang lahat.

Akan tetapi warna pakaian para pejabat negeri yang putih itu tidak mengurangi nafsu mereka untuk melakukan korupsi, menjarah uang rakyat. Di balik pakaian putih yang kelihatan necis dan bersih itu ada jiwa dan mental yang hitam kelam.

Kini, masihkah di otak Anda warna putih asosiatif dengan kesucian?

Leiden, Juli 2016

*Versi cetak esai ini terbit di harian Batam Pos (Lembaran ‘Jembia’), Minggu, 24 Juli 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun