Aku adalah orang yang paling enggan dengan kata sekolah. Bagiku sekolah tidak lebih dari kata lain dari pusing atau mungkin mimpi buruk. Aku masih ingat bagaimana wajah kakakku yang terlihat lelah ketika ia pulang sekolah di siang menjelang sore, belum lagi dengan tas punggung berukuran besar yang selalu di bawanya ketika ia sekolah, belum lagi ketika ia di marahi ayah karena nilai ulangan dan raportnya yang jelek.
Belum lagi ketika ia menangis karena di hina teman temannyaÂ
Belum lagi..
Belum lagi...
Dan aku tahu satu satunya tempat di mana aku bisa mendapatkan ulangan dan raport, dan menuntutku membawa tas besar setiap harinya, serta bertemu orang lain yang meyebalkan yang suka menghina tapi lucunya di sebut teman hanyalah di sekolah. Terlalu banyak alasan bagiku untuk menolak dan tidak mau tahu apa itu sekolah. Yang penting aku sudah bisa baca dan menulis, begitu pikirku.
Akhirnya  ayah sebagai kepala keluarga memutuskan kalau aku harus bersekolah dan tidak pulang, mereka menyebut kalau aku akan tinggal di sebuah asrama yang memang di siapkan untuk para siswa yang hendak menimba ilmu di sana. Malam itu aku menangis, marah dan kesal karena keputusan ayah yang menurutku egois. Kata mereka, besok beberapa seorang dari sekolah tersebut akan menjemputku, dengan paksa jika perlu.
Aku masih ingat malam itu ketika ibu masuk ke kamarku dan berbicara berdua denganku. Ia lalu mulai menjelaskan padaku apa dan bagaimana sekolah itu. Kata ibu nanti, akan ada seorang guru -yang juga pemilik sekolah tersebut- yang akan mengajarkanku banyak hal.
"Dia orang yang pandai dan tulus.. "
"Kamu bisa menanyakan banyak hal pada dia nanti.. "
"Dia seorang panutan.. "
"Dia orang yang penyabar.. "