Di tengah-tengah asyiknya scrolling tiktok dengan variasi konten yang masif, singkat, dan cepat. Perhatianku tertuju kepada salah satu konten yang menyelinap masuk kedalam page rekomendasiku. Dalam konten tersebut, terdapat cuplikan seorang dosen yang sedang menguji sidang skripsi seorang mahasiswa. Terlihat dari nada dan gestur dosen tersebut yang mempertanyakan dengan keras kepada mahasiswa yang terdiam dan mengalami hambatan dalam mempertahankan skripsinya. Apabila menelisik isi dari kolom komentar, banyak sekali yang mengungkapkan bahwa tindakan dosen tersebut dinilai keren, karena menunjukkan transparansi proses ujian sidang skripsi dan membuat penonton bisa mempelajari atmosfer sidang skripsi. Ada juga, yang memuji dosen tersebut karena dosen tersebut bersikap tegas kepada mahasiswa yang tidak bisa mempertahankan tulisannya yang terindikasi sebagai buatan joki.  Walaupun memang ada juga beberapa komentar negatif, salah satunya mengatakan "dunia kerja tidak ada urusan dengan skripsi". Tetapi fokus dari tulisan ini tidak mengulas lebih jauh terkait dengan tanggapan netizen serta penggunaan joki dalam skripsi mahasiswa, melainkan menelaah sebuah pertanyaan yang terlintas di benak saya ketika melihat konten tersebut, yaitu "Apakah Etis Proses Kegiatan Sidang Skripsi Disiarkan Secara Langsung dan Bisa Diakses oleh Semua Orang Melalui Platform Tiktok?"
Tentunya ini bisa diibaratkan layaknya dua bilah mata pedang. Di satu sisi akan ada sebuah argument dimana pelaksanaan sidang skripsi melalui live tiktok, adalah sebuah bentuk transparansi akademik agar masyarakat tahu proses ujian skripsi berlangsung jujur dan tanpa manipulasi nilai. Argumen tersebut memang sesuari dengan teori “public accountability" yang disebutkan oleh Steneck (2006), bahwa peneliti memiliki moral dan sosial accountability dimana ia harus bertanggung jawab tidak hanya kepada lembaga akademik, tapi juga kepada publik yang membiayai atau menerima hasil penelitiannya. Dengan adanya platform Tiktok dan fitur Live tiktok, ini bisa dianggap sebagai langkah inovatif dan penjembatan untuk menunjukkan bahwa dosen bertanggung jawab terhadap kualiatas mahasiswanya kepada publik. Selain itu, pemanfaatan media live TikTok dalam ujian skripsi mahasiswa juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari penerapan teori "Public Intellectualism", di mana akademisi yang aktif berbicara di ruang publik berperan dalam membangun pemahaman sosial serta memperjuangkan nilai-nilai ilmiah di masyarakat. Dalam era digital, media sosial dipandang sebagai sarana untuk memperluas praktik "Public Intellectualism" (Burawoy, 2004).
Di lain sisi, penggunaan fitur live tiktok dalam ujian skripsi mahasiswa adalah bentuk pelanggaran berat terhadap etika penelitian akademik. Hal ini didasari pada sifat dari sidang skripsi yang berupa kegiatan resmi di dunia pendidikan tinggi dan harus dijalkan sesuai aturan, etika, dan fokus ilmiah. Sifat tersebut, sangat bertolak belakang dengan media TikTok yang pada dasarnya adalah media hiburan publik. Jelas mahasiswa adalah yang paling terdampak karena hal yang seharusnya bersifat akademik dan internal kampus berakhir menjadi sebuah konsumsi publik yang bisa  mengganggu batas antara ruang formal akademik dan ruang hiburan digital. Mengacu dari penelitian yang dilakukan oleh Arbuckle et al. (2022), ketika aktivitas akademik dibuka untuk konsumsi publik, hal tersebut tidak serta-merta bahwa segala sesuatu dapat dipublikasikan. Diperlukan adanya kontrol melalui penerapan prinsip privasi, kesepakatan, anonimisasi, dan etika agar formalitas serta objektivitas akademik tetap terjaga dan tidak terkesan bahwa dosen sedang melakukan pertunjukan personal yang berfokus pada figur dosen, alih-alih pada substansi akademik yang seharusnya menjadi inti sidang skripsi.Â
Ditambah, penerapan live tiktok malah akan memunculkan issue besar yang sangat ditakuti oleh para peneliti yaitu adalah pencurian ide (idea theft). Arbuckle et al. (2022), dalam bukunya menjelaskan bahwa ketika transparansi akademik didorong untuk menjadi lebih terbuka di ruang publik digital, hal itu hanya menimbulkan ethical tension yang lebih tinggi karena berisiko menghapus batas perlindungan terhadap ide dan data akademik. Lagi-lagi mahasiswa akan dirugikan disini, karena ketika publik mengetahui data judul, gagasan, dan karya dari mahaasiswa yang sedang diuji. Akan sangat mungkin bahwa terdapat pihak yang bisa saja mencuri ide tersebut dengan cara mengolah ide dan mempublishnya lebih dahulu daripada mahasiswa yang diuji. Apalagi file sidang skripsi yang dipertahankan oleh mahasiswa jelas bukanlah suatu produk final yang sudah terpoles dan pastinya hal tersebut dapat memudhkan beberapa oknum untuk mengakses, menyalin, bahkan memanfaatkan tanpa izin secara mudah.
Berdasarkan fenomena tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterbukaan aktivitas akademik di ruang publik perlu diimbangi dengan kesadaran etis agar tidak menggeser tujuan ilmiah menjadi pertunjukan personal. Alangkah lebih baik bahwa, yang diceritakan adalah pengalaman apa saja yang ditemukan selama proses sidang tanpa memperlihatkan proses sidang yang berlangsung secara realtime. Hal ini akan memungkinkan keseimbangan antara kebutuhan publikasi dan tanggung jawab etika, sehingga aktivitas akademik tetap berada dalam koridor profesionalisme dan tidak hanya menjadi konsumsi publik semata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI