Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membuat Hoaks dan Ujaran Kebencian Tak Lagi Punya "Gaung"

4 Agustus 2018   16:16 Diperbarui: 4 Agustus 2018   16:23 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ujaran Kebencian dan Hoaks Bisa Sangat Merusak/Sumber Foto: Pixabay.com

Hoaks dan ujaran kebencian sebenarnya bukan barang baru.

Berita bohong, fakta yang diputar balik, penipuan, rekayasa, rasisme, diskriminasi dan sederet sinonim lainnya merupakan fenomena lampau.

Namun, kombinasi antara hoaks, ujaran kebencian, internet dan jejaring media sosial memunculkan sesuatu yang gawat dan merusak seperti yang kita lihat dan rasakan sekarang ini.

Jika bicara soal dampak, hoaks dan ujaran kebencian memang sangat merugikan. Mendengar kabar dari India, kita semua terkesiap sebab hoaks sampai menimbulkan korban jiwa.

Musababnya adalah rumor penculikan anak yang beredar lewat WhatsApp yang kemudian memunculkan keresahan sosial dan aksi main hakim sendiri. Total korban yang diduga dibunuh akibat rumor tersebut sudah mencapai puluhan orang.

Di dunia politik, giliran berita bohong dan manipulasi informasi digunakan untuk mendiskreditkan lawan politik. Hal ini terungkap melalui sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Ohio. 

Hasil penelitian itu menyebutkan, 4% pemilih Barack Obama memutuskan tidak memilih Hillary Clinton pada Pemilu AS 2016 karena meyakini kebenaran hoax yang menyerang Hillary.

Padahal, Hillary merupakan kandidat presiden yang disokong oleh Partai Demokrat yang notabene menjadi kendaraan Obama saat memenangkan pemilu.

Di sektor ekonomi dan bisnis, kabar bohong dan rumor juga bisa menimbulkan imbas negatif. Kita tentu masih ingat akan keresahan yang ditimbulkan video hoaks telur palsu yang sempat viral di media sosial.

Lantaran video itu, masyarakat sempat takut mengonsumsi telur. Akibatnya, omzet peternak turun drastis di beberapa kota di Indonesia.

Hoaks dan ujaran kebencian memang berbahaya. Namun, yang menjadi pertanyaan, dapatkah kita menghentikannya? Meski terdengar muskil, ujaran kebencian dan berita bohong sebenarnya tidak mustahil untuk diberantas. Apalagi bagi bangsa yang punya modal, potensi serta sumber daya luar biasa besar seperti Indonesia.

Malah, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara pertama yang sukses memberantas ujaran kebencian dan hoaks.

Salah satu modal penting yang dimiliki Indonesia untuk memberantas hoaks dan ujaran kebencian adalah komitmen dan keseriusan pemerintah. Ini terlihat ketika sejumlah kementerian menjadikan perang melawan hoaks dan ujaran kebencian sebagai program kerja.

Salah satu kementerian yang paling getol melawan konten negatif yang beredar di media sosial adalah Kementerian Agama (Kemenag) RI.

Tentu saja, kementerian yang dipimpin oleh Menteri Lukman Hakim Saifuddin ini fokus pada konten-konten bertema sosial keagamaan. Nah, berdasarkan riset kecil yang saya lakukan di internet, berikut ini sejumlah program kerja Kemenag untuk menangkal ujaran kebencian dan permusuhan di media sosial:

1. Menggandeng serta mengedukasi wartawan/media massa untuk melawan hoaks. Caranya, Kemenag mengadakan berbagai kegiatan seperti workshop jurnalisme keagamaan, pelatihan membuat video pendek berte,a kampanye melawan ujaran kebencian hingga Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemred media massa dan blogger.

2. Merangkul dan mengedukasi pemuka agama/penggiat agama sehingga dapat mengajarkan umatnya untuk bijak dalam bermedia sosial. Contohnya dengan mengadakan roadshow ke daerah-daerah untuk menemui dan berdiskusi langsung dengan penyuluh agama.

3. Menggunakan website resmi Kemenag untuk mengklarifikasi berbagai kabar bohong dan ujaran kebencian yang beredar.

4. Literasi dan sosialisasi peran melawan hoaks di lingkungan pegawai Kemenag.

Bagi saya pribadi, sekian program tersebut sangat baik dan akan mampu menekan peredaran ujaran kebencian serta hoaks. Namun, jika saya berkesempatan menjadi Menteri Agama RI, saya akan menjadikan lembaga yang saya pimpin sebagai pelopor dalam melawan konten bernada kebencian dan permusuhan di Indonesia.

Alasannya, tidak sedikit kabar bohong dan ujaran kebencian di Indonesia menyerempet pada isu-isu seputar keagamaan. Padahal, masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius yang tidak dapat memisahkan diri dari nilai-nilai agama.

Dan, sebagai lembaga yang menaungi dan mengurusi persoalan-persoalan keagamaan, sudah seharusnya Kemenag RI mengambal inisiatif tersebut.

Namun, sekian program yang sudah berjalan dan saya singgung di atas akan saya perkuat dengan berbagai program baru seperti berikut ini:

Mendorong Pembentukan Undang-Undang

Jika saya menjadi menteri, maka Kemenag akan aktif mendorong munculnya regulasi baru untuk mengontrol arus informasi dan, jika perlu, menyensor konten negatif (ujaran kebencian, hoaks) yang beredar di media sosial seperti Facebook, twitter, Instagram dan lain sebagainya.

Namun, sebagai Menag saya akan merumuskan kebijakan tersebut bersama seluruh pemangku kepentingan dengan sangat hati-hati.

Sehingga, kebijakan baru ini efektif menangkal hoaks dan ujaran kebencian, namun tidak sampai mengekang kebasan berpendapat atau menekan oposisi yang berniat melakukan kontrol dan kritik membangun terhadap pemerintah.

Sebagai contoh isi kebijakan tersebut misalnya: pemerintah berhak memaksa perusahaan media sosial dan platform komunikasi digital untuk menghapus konten hoaks, ujaran kebencian dan rumor yang berusaha mengobarkan permusuhan.

Contoh lainnya adalah pemerintah berhak meminta Facebook atau Google membatasi iklan di situs maupun akun yang ditengarai menyebarkan hoaks. Tujuannya untuk mematikan sumber pendanaan mereka.

Peraturan ini pun dilengkapi dengan sanksi. Contohnya, perusahaan media sosial/mesin pencari yang tidak mematuhi kebijakan ini bisa saja didenda atau dicabut izin operasinya di Indonesia.

Menentukan Pengertian Hoax

Sebelum membuat regulasi mengenai hoaks dan ujaran kebencian, langkah yang sebaiknya dilakukan kali pertama adalah menentukan definisinya terlebih dahulu.

Hal ini penting untuk mencegah kebingungan dan salah tafsir. Misalnya, menentukan apakah informasi/sesuatu yang palsu dan tidak masuk akal semata bisa digolongkan sebagai hoaks.  

Atau, definisi hoaks di sini lebih menargetkan jalinan informasi menyesatkan yang disebar dengan tujuan mempengaruhi opini publik. Jadi, hoaks yang disorot adalah yang memiliki tendensi mengacaukan persepsi masyarakat.

Salah satu contohnya adalah video ribuan pekerja asal Tiongkok di Bandara Halu Uleo Kendari yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.

Narasi video tersebut jelas ditujukan untuk mempengaruhi opini publik terhadap longgarnya pengawasan pemerintah terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal.

Padahal, para pekerja dalam video tersebut merupakan TKA legal yang didatangkan untuk memasang mesin selama 6 bulan. Video itu bahkan diunggah untuk pertama kali tiga tahun sebelumnya.

Definisi pun harus bersifat ketat. Dengan demikian, tafsirnya tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain seperti memberangus wacana tandingan atau opini kritis yang tujuannya membangun dan memperbaiki.

Dengan demikian, seluruh pemangku kepentingan termasuk aparat hukum dapat membedakan ujaran kebencian, propaganda, satir maupun kritik.

Menginisiasi Jurnalisme Kebhinekaan

Wacana Kebhinekaan adalah Warisan Berharga yang Harus Kita Gunakan untuk Memerangi Hoak dan Ujaran Kebencian/Sumber Foto: Kompas.com
Wacana Kebhinekaan adalah Warisan Berharga yang Harus Kita Gunakan untuk Memerangi Hoak dan Ujaran Kebencian/Sumber Foto: Kompas.com
Sebagai Menag, saya tidak gengsi mendaur ulang program kerja lama jika saya nilai program tersebut sangat baik.

Salah satu program yang saya nilai sangat baik dalam menangkal meluasnya dampak kabar bohong bernada kebencian adalah menggandeng media konvensional untuk bersama sama memberantas konten negatif.

Namun, dalam kerja sama antara Kemenag dan media, saya akan mendorong media untuk lebih banyak mengkampanyekan ide-ide kebhinekaan.

Alasannya, ide tentang persatuan dan persaudaraan merupakan obat paling mujarab menangkal maraknya ujaran kebencian yang mendorong permusuhan.

Saya yakin, media konvensional memiliki jangkauan pembaca/pengguna yang tidak kalah luas dibandingkan media sosial. Untuk media online/platform blog grup kompas, misalnya, traffic (pengunjung) Tribunnews.com, Kompas.com dan Kompasiana mencapai masing-masing 225 juta, 115,6 juta dan 16,6 juta (data diperoleh dari Simmilar Web mengacu pada traffic bulan Juni 2018).

Dengan daya jangkau tersebut, ide-ide kebhinekaan bisa lebih jauh menjangkau banyak orang.

Dalam kerja sama ini, saya tidak hanya berhenti pada eduksi wartawan melainkan mendorong sesuatu yang lebih konkrit. Misalnya, menjalin kerja sama antara media dan Kemenag untuk membuat fitur pemeriksa fakta (fact checker). 

Pada fitur ini, kabar hoaks yang tengah jadi perhatian langsung mendapat klarifikasi dengan cepat dan akurat.

Di Indonesia, hal ini sebenarnya sudah dilakukan Facebook bekerja sama dengan media online Tirto.id. Namun, jika Kemenag bisa mendorong munculnya fitur yang sama di seluruh media online/platform blog besar di Indonesia, dampaknya akan lebih terasa mengingat potensi traffic yang dimiliki media konvensional masih sangat besar.

Pasukan Siber Kemenag

Seperti yang kita tahu, konten kebencian dan permusuhan yang beredar di media sosial tidak muncul secara alami. Ada dugaan, terdapat pihak tertentu yang bermain menciptakan dan menyebar hoaks untuk memecah belah bangsa.

Oleh karena itu, perlawanan yang dilakukan pemerintah, khususnya Kemenag harus semakin sistematis. Jika ada kelompok yang bekerja menyebarkan konten negatif, maka harus ada pula kelompok yang bekerja untuk meredamnya.

Sebagai Menteri Agama RI, kelompok saya ini akan saya sebut sebagai pasukan pemburu hoaks. Salah satu contoh pekerjaan dari kelompok pemburu hoaks ini adalah mencari dan melakukan serangan balik terhadap konten negatif yang ditemukan di media sosial.

Misalnya, melalui sebuah penelitian terungkap bahwa grup Facebook menjadi tempat yang sering dijadikan sasaran menyebar kebencian.

Jika menemukan grup seperti ini, pasukan pemburu hoaks bisa ikut bergabung dengan grup tersebut dan mematahkan kabar bohong dan kebencian yang disebar. Atau, pasukan ini bisa juga membuat grup tandingan yang tujuannya mengklarifikasi tuduhan-tuduhan dari grup tersebut.

Tujuan inti dari sekian program tersebut sebenarnya adalah meningkatkan literasi masyarakat akan media sosial, sekaligus mendongkrak rasa persatuan dan persaudaraan di antara sesama anak bangsa. Sehingga ke depannya saya berharap, masyarakat bisa memilah sendiri mana kabar yang layak dipercaya maupun kabar yang sebaiknya diabaikan dan dilawan.

 Sebab, di tengah masyarakat yang cerdas dan bijak dalam bermedia sosial, saya sangat yakin hoaks dan ujaran kebencian tidak lagi punya gaung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun