Mohon tunggu...
Surahmat An-Nashih
Surahmat An-Nashih Mohon Tunggu... -

Idealisme sederhana dan realita luar biasa menempa diri dan membimbing ke jalan pulang yang indah kepada Sang Maha Cinta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 2014, “Money Politic-nya Nggak Ada” (?)

12 Mei 2014   23:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yang menarikdari pileg 2014 adalah tentang money politik. Bukan pada haramnya hal dan perbuatan itu. Lebih pada keberadaannya. Sampai hari ini keberadaannya belum jelas, nyatanya banyak fihak yang bicara soal kecurangan pileg hampir tak ketinggalan menyebut soal money politik. Katakanlah semua fihak yang bertarung pernah menyebut soal kecurangan, tentu juga money politik. Dari tingkat akar rumput sampai elit. Nah, ibarat pepatahnggak enak "Maling teriak maling" tentu membingungkan siapa yang sebenarnya maling. Ketika maling tak tak tahu kemana larinya, akhirnya terpaksa para pengejarnya menyerah dan berkata : "Malingnya sudah lari". Kemudian bias informasi melahirkan berita : "Malingnya sudahnggakada." Seiring berganti hari, tersimpulkan secara bias : "Malingnya nggak ada". Celakanya, yang bias itu menjadi biasa. Sekarang, kembali pada money politik, akankah terjadi fenomena atau realita bias yang biasa?

Sedikitkita mundur ke jelang pileg, dari sejumlah isu politik tak jarang mengusung korupsi dan money politik, termasuk yang dimaksudkan untuk kepentingan menjatuhkan lawan. Konteks terakhir ini bisa ditengarai ketika tak lagi gencar isu tersebut mencuat dari fihak tertentu yang berkepentingan justru pada saat pileg selesai, terlebih setelah real count diketuk KPU. Tak ada lagi yangrame-rame membicarakan money politik. Nah, salah siapa jika akhirnya dicurigai bahwa omongan yang kemarin-kemarin itu sekedar move ataupun manuver menjatuhkan lawan? Bahkan lebih nakal lagi kampanye hitam?

Sangat disayangkan kalau sikap anti money politik dan sejenisnya itu hanya untuk kepentingan politik ataupun menjatuhkan lawan politik. Boleh jadi tendensi itu justru lebih jelek dari pelaku politik uang itu sendiri. Itu mirip juga dengan mereka yang memanipulasi hukum dan agama untuk kepentingan pragmatisme politik.

Mesrtinya, sikap anti money politik dan segala bentuk kecurangan itu memang diniatkan secara ikhlas, misalnya untuk membersihkan bangsa ini dari berbagai virus dan kanker kepribadian. Satu kata dan perbuatan, betapapun mungkin berbeda dengan kepentingan politik sefihak. Mungkin pada bagian ini ada yang tertawa atau mentertawakan, atau menilai diri saya terlalu lugu untuk menjadi politisi apalagi politikus. Sebab, berpolitik itu jangan terlalu linier, sesekali harus bermanuver. Dst.

Baik, terlepas apakah penulis artikel ini pekerja politik atau bukan, tulisan ini lebih adil untuk dicermati ketimbang sebatas menilai penulisnya. Sebab jika masuk rumah makan padang, misalnya, tak perlu bertanya siap yang jadi juru masaknya. Yang penting rendangnya enak apanggak. Okey, kita kembali ke money politik.

Rusaknya sebuah negara dimulai dari rusaknya sistem, dan para pelaku money politik adalah biang yang sangat atau paling berbahaya. Kewaspadaan tak kenal henti adalah harga mati. Paling kurang, jangan hanya berhenti meneriakkan anti justru karena pileg telah ditutup KPU. Lebih menyedihkan lagi berhenti teriak itu ternyata karena menjadi fihak yang kalah atau gagal menang. Ibarat juru da'wah, para misisonari, atau para penyeru aga lainnya; mereka menyerukan kebenaran tak ada hentinya, bahkan berkesinambungan dari generasi ke generasi. Demikianlah hendaknya seruan dan gerakan anti money politik. Tentu saja pengibaratan tersebut bukan untuk menyebut semua agama itu sama -- sebab iman itu membenarkan kita fanatik dan bahkan menyalahkan mereka yang berbeda iman dengan kita, namun iman juga menyalahkan kita jika berdampingan hidup secara tidak adil dengan mereka, justru iman membimbing berdampingan hidup secara kondusif -- pengibaratan tersebut sebatas menyadari spirit kujujuran terhadap kebenaran yang diyakini. Sedangkan kita semua akan jujur menyadari dan meyakini betapa buruknya money politik itu. Jangankan (kita) yang tidak terlibat, bahkan pelaku money politikpun tahu betapa buruknya perbuatan itu.

Intinya, seruan dan gerakan anti money politik haruslah menyatu dalam denyut nadi dan aliran darah kehidupan bangsa ini, dari setiap diri kita.

Betapapun, tidak mudah menjadi istiqamah, hari ini anti dan sampai kapanpun anti. Realitanya, tak sedikit pemain yang ingin bermain bersih namun tak kuat juga melihat para rival yang bermain uang. Bahkan akhirnya seperti sindiran Ronggo Warsito bahwa jaman ini jaman edan jika tak ikut edan tak kebagian. Untung saja masih banyak hati yang bersih dengan keyakinan yang kuat, sebagaimana pitutur Ronggo Warsito pula bahwa seberuntung-beruntungnya orang yang ngedan masih beruntung orang yang sadar dan waspada.Artinya, janganlah mencari alasan untuk mencari dan mencuri jalan sehingga bisa main uang, money politik.

Pilpres 2014 adalah kesempatan kita membuktikan bahwa kita, bangsa ini anti money politik. Tidak sebatas menjadikan isu money politik untuk menyudutkan lawan politik, apalagi menutupi perbuatan tersebut yang dimanipulasi oleh diri dan kelompok sendiri. Kalau pada pileg kemarin masih banyak meskisulit dilacak, terlebih karena yang dilacak juga berlagak melacak ... Ayolah, anak cucu kita masih ingin membaca sejarah tentang kesantunan kita dalam berpolitik. Biarlah mereka bangga dengan politik agung pendahulunya, ya generasi zaman kita. Betapapun dalam politik akan sulit mengagungkan nilai (value) diatas kepentingan (interest) namun tetap ada kesempatan membuat pilihan pada nilai kepentingan dan kepentingan nilai. Jangan sampai terulang lagi fenomena, ibarat pepatahnggak enak "Maling teriak maling" tentu membingungkan siapa yang sebenarnya maling. Ketika maling tak tak tahu kemana larinya, akhirnya terpaksa para pengejarnya menyerah dan berkata : "Malingnya sudah lari". Kemudian bias informasi melahirkan berita : "Malingnya sudahnggakada." Seiring berganti hari, tersimpulkan secara bias : "Malingnya nggak ada". Celakanya, yang bias itu menjadi biasa. Lebih celaka kalau itu menjadi jawaban atas keberadaan money politik di pilpres dimana bias yang jadi biasa itu berbunyi : “Money politiknya nggak ada.” Padahal banyak namun tak terlacak.

- Surahmat An-Nashih -

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun