Mohon tunggu...
Su Rahman
Su Rahman Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa yang sedang mencari jalan untuk pulang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengungkap Peran Ganjil JPU Martha Berliana Tobing di Dalam Kasus Anand Krishna

24 Oktober 2011   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Anand Krishna terus bergulir bak bola panas yang justeru membuka aib para pelapor dan oknum yang menangani kasus ini. Sejak digulirkan kasus ini penuh dnegan kejanggalan dan sarat dengan rekayasa sehingga membuat Hakim Ketua Hari Sasangka di copot dari kasus ini karena bertemu dengan saksi korban Shinta Kencana Kheng di dalam mobil secara sembunyi-sembunyi pada malam hari, kasus ini pun diambil alih dan di pimpin oleh Hakim Albertina Ho.

Hakim Albertina Ho kemudian memutuskan untuk mengulang persidangan dengan memanggil saksi-saksi utama, hal ini dilakukan untuk menyelenggarakan persidangan yang fair. Namun JPU Martha Berliana Tobing mengajukan keberatan dengan alasan demi terwujudnya persidangan yang hemat biaya dan effective. Namun anehnya justeru JPU Martha Berliana Tobing sendiri yang kerap kali mengulur-ngulur jalannya persidangan hingga sampai pada waktu pembacaan tuntutanpun JPU masih mengulur-ulur waktu.

Penasehat Hukum Anand Krishna, Dwi Ria Latifa SH mengungkapkan “ada yang ganjil dari prilaku Martha Berliana Tobing selama menjadi JPU dalam Kasus Anand Krishna, JPU Martha berliana Tobing kerap kali mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak relevan dengan dakwaan, sehingga Hakim Albertina Ho kerap kali menyatakan bahwa pertanyaan yang diajukan tidaklah relevan.”

Dwi Ria Latifa SH juga menambahkan “bahwa ada 7 kejanggalan yang terjadi selama Martha berliana Tobing menjadi JPU dan diataranya ada yang melanggar HAM berat”

Kejanggalan yang dimaksud oleh Dwi Ria Latifa SH itu adalah :

1.Perintah Pencabutan Infus dan memaksa mengirimkan Anand Krishna ke Rutan Cipinang sehingga kadar gula darahnya turun drastis menjadi 64, dan mengalami serangan light stroke dan hypoglychemie pada 48 jam berikutnya. Hal tersebut adalah tindakan yang bukan hanya tidak profesional dan melanggar etika korps adhyaksa untuk selalu menjalankan tugas berdasarkan Trikrama Adhyaksa : Satya Adhi Wicaksana, tapi juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang sangat serius.

2. Beberapa saksi yang dihadirkan pun mengakui bahwa memang ada penggalangan dan koordinasi di antara mereka sebelum kasus ini dibawa ke polisi. Mereka menyebut nama Muhammad Djumat Abrory Djabbar dan Shinta Kencana Kheng sebagai orang yang memfasilitasi dan mengkoordinir mereka. Sementara itu, Shinta Kencana Kheng diduga terlibat dalam pelanggaran kode etik hakim karena yang dilakukan Hakim Ketua Majelis lama Hari Sasangka karena terlihat beberapa kali berduaan dalam satu mobil di malam hari, di tempat yang sepi. Kasus ini sendiri sedang dalam penanganan oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA).

3.JPU kurang cermat dalam menghadirkan saksi-saksi kredibel, dan sesuai dengan pasal yang didakwakan dimana semestinya saksi yang dihadirkan adalah terkait juncto pasal 64 (perbuatan berulang pada satu subyek), bukan pasal 65.

4.Pada copy visumpelapor tertanggal 3 Maret 2010, pukul 15.40 dari RSCM yang ditandatangani oleh dr. Abd. Nun’im Idris tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual dan persetubuhan, bahkan selaput dara masih utuh pada diri pelapor.

5. Adanya saksi baru diluar BAP, yaitu Guntur Tompubolon, yang memberikan keterangan yang dalam kasus lain yang dilaporkan di Kepolisian Depok ternyatata tidak terbukti, dan kasus tersebut dihentikan (SP3). Namun, saat pemeriksaan Guntur Tompubolon, secara sangat subjektif Hakim Hari Sasangka seolah membenarkan keterangannya secara sepihak.

6. Adanya barang bukti baru diluar daftar barang bukti yang disita oleh Kepolisian, berupa sebuah kalung dan beberapa foto yang tertempel diatas selembar kertas, yang mana saat persidangan ulang raib lagi tanpa bekas.

7. Penggunaan kata-kata repulsif terhadap terdakwa, dan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak relevan dengan dakwaan, baik yang diajukan kepada terdakwa maupun para saksi lainnya, khususnya 3 orang saksi JPU sendiri yang ternyata membantah apa yang dituduhkan kepada mereka oleh pelapor.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun