Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemilihan Kepala Daerah Hanyalah Eforia Sesaat, Selesai Itu Bubar

6 Oktober 2020   14:22 Diperbarui: 6 Oktober 2020   15:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


SEMARAK pemilihan kepala daerah sudah menggelegar. Kampanye terbuka di mana-mana memenuhi lapangan maupun areal terbuka di kampung-kampung. Sejenak urusan Covid hanya himbauan, dan tetek bengek pemerintah saja. Semua calon tidak hanya datang dengan gerbongnya, tetapi juga dengan janji-janji politik yang menggiurkan.

Massa terkonsentrasi dalam banyak titik dan setia mendengarkan orasi murahan dari para calon, baik calon urusan kota maupun daerah. Para calon  ini mulai menebar senyum, menyapa banyak warga, sibuk melontarkan janji, dan bahkan kaca mobilnya hampir tidak pernah di tutup walau angin puting beliung menerpa, hanya untuk memastikan ada warga yang lewat untuk di sapa. Mereka sedang pandai terba pesona kepada siapapun yang ditemuinya.

Dok. Faruk
Dok. Faruk

Dok. Faruk
Dok. Faruk
Kemudian para pendukung dan simpatisan di koordinir dengan membentuk tim sampai ke tingkat dusun. Mereka setia menunggu perintah. Kapan harus bergerak, kapan pula harus menunggu  di posko pemenangan. Pilkada menjadi arena pertarungan pengaruh untuk menggaet jumlah massa pemilih.

Mesin politik mulai kencang bergerak. Mereka memetakan peluang, menghalau lawan, menyusun strategis dan menganalisis ala pakar yang sering tampil di tivi. Para simpatisan ini, mereka memuji para jagoannya, mulai dari prestasinya sampai urusan keseharian hidup di keluarganya. Mereka menjadi juru bicara yang pandai bersilat lidah untuk meyakinkan massa pemilih.

Bahkan  demi memuluskan jagoannya, mereka dengan rela kerja siang malam, walaupun tanggungjawab sebagai keluarga kerab terabaikan. Mereka dengan bangga karena dekat dengan salah satu pasangan calon, yang tanpa di sadarinya sedang membutuhkannya. Kalau jagoannya terpilih bisa kemungkinan dirinya dilupakan. Habis manis sepak dibuang.

Dan yang menarik, bahkan  dari kalangan anak muda di desa-desa membentuk kelompok pemenangan bagi pasangan calon tertentu. Mereka membangun simpul-simpul persahabatan, baik di dunia nyata terlebih di media sosial. Anak-anak muda ini, terintegrasi dalam barisan perjuangan para calon. Mereka ikut menggaungkan visi misi para calon. Dan tidak sedikit yang merasa bangga karena bisa berselfie ria dengan jagoannya pada setiap momen.

Dok. Faruk
Dok. Faruk
Bahkan dari mereka, tidak sedikit dipercayakan untuk melakukan hal-hal teknis. Mulai menyiapkan posko, panggung, mencetak spanduk, mengangkat kardus, bahkan menyiapkan forum untuk jagoan yang diusungnya kemudian datang lalu merapalkan semua programnya di hadapan banyak orang.
Tidak ada yang salah, anak muda berkecimpung dalam dunia politik. Bukankah suatu saat merekalah menjadi pengganti yang mumpuni untuk menggantikan generasi hari ini. Semua orang punya pilihan masing-masing disertai dengan alasannya. Tidak ada yang berhak melarang orang menentukan masa depannya sendiri. Termasuk anak muda yang banyak bergabung di gerbong para calon wali kota maupun kepala daerah ini.

Namun, bukankah sebaiknya mereka berdiri di luar pemerintahan dan mulai bergerak untuk melakukan kerja-kerja nyata untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Mereka bisa mengembangkan usaha berkelompok, membumikan tempat tertentu untuk destinasi wisata yang membuka lapangan  kerja bagi banyak orang. Melakukan kerja-kerja advokasi bagi masyarakat yang ingin memastikan hukum berdiri tegak tanpa memihak kepada yang berkuasa terlebih yang berduit. Dan sangat banyak yang bisa dilakukan anak muda sebagai wujud kepedulian kepada banyak orang.

Tapi, kembali pada pilihan. Karena memilih untuk tidak memilih, juga merupakan pilihan. Namun, sulit disangkal, urusan politik akan rentang terjerambab dalam kubangan pragmatisme dan eforia sesaat kemudian akan meninggalkan dendam kesumat jika berakhir pada kekalahan. Politik adalah satu ruang persahabatan semu, kalau tidak mau dibilang ilusi. Kue kekuasaan hanya akan banyak dinikmati oleh mereka yang berada pada lingkaran tertinggi. Sedangkan mereka yang berjibaku di lapangan, kadang hanya mendapatkan tetesan embun yang belum tentu mampu menghilangkan dahaga.

Pilkada hanyalah eforia sesaat. Masyarakat secara tidak langsung didorong untuk ikut memeriahkan ritual lima tahunan ini. Tetapi, tidak sedikit karena pilkada, masyarakat menjadi terkotak-kotak dan bahkan sulit move on, walaupun pesta demokrasi telah usai. Bahkan tidak sedikit keluarga yang renggang hanya kepentingan para calon yang sok peduli kepada masyarakat itu. Mereka meninggalkan masalah baru karena kerakusannya untuk berkuasa.

Oleh karena itu, masyarakat harus lebih dewasa serta bijak terhadap urusan  pilkada ini. Karena yang paling cepat melihat kita sakit, belum makan, kesulitan hidup adalah keluarga dan tetangga kita. Dan belum tentu para calon pemimpinan di pilkada ini, kalau mereka menang nanti akan benar-benar perduli term nasib rakyatnya. Bukankah banyak fakta yang demikian. Semoga sejarah tidak terulang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun