I. Suatu Senja
Mengenangmu di depan pusara ini, saat rindu meluap tanpa debu, hatiku masih diliputi hangatnya kenangan. Mantel tua yang melekat di tubuh ini, masih setia menemaniku. Mantel yang kau belikan ketika dinas ke Negeri Ginseng.
"Kamu sering kedinginan kalau aku tidak di rumah," katamu waktu itu. "Karena pelukanku membuatmu lelap, tanpa itu, matamu cuma menatap langit-langit."
Aku tersenyum kecil saat mengingatnya. Betapa, meski kami bukan pasangan pertama satu sama lain, kami sama-sama berharap menjadi yang terakhir. Masing-masing berusaha menebus masa lalu, penuh luka dan pelajaran. Pernikahan kami adalah lembar baru. Usaha memperbaiki diri, belajar mencintai tanpa syarat, menyesuaikan diri dalam suka dan duka.
"Ibu, ayo... hari mulai gelap. Nanti kehujanan," suara Tiara membuyarkan lamunanku. Anak keduamu, anak sambungku.
"Ya, De. Ibu juga harus kembali ke pesantren," sahutku seraya mencoba berdiri.
"Bu, kenapa sih nggak tinggal sama kami aja? Bunda juga ingin Ibu bersama kami," ucapnya sambil menggenggam tanganku.
Ia menyebutku Ibu, dan memanggil ibunya sendiri Bunda. Sikapnya lembut, tulus. Tapi aku tetap pada pilihanku: tinggal di pesantren manula. Aku ingin hari tuaku damai, penuh ibadah dan ketenangan. Sesekali aku mengunjungi mereka, sesekali pula pergi bertualang bersama teman-teman sejiwa.
Si kembar, buah hatiku dan Uda Mahzar, kini kuliah dengan beasiswa: satu di Mesir, satu lagi di Madinah. Mereka hanya pulang saat liburan. Rumah kami kini dikelola saudaraku, dijadikan Taman Pendidikan Al-Qur'an dan majelis taklim. Hatiku cukup. Hidupku tenang.
II. Datang dan Pergi