Mohon tunggu...
Sunardian Wirodono
Sunardian Wirodono Mohon Tunggu... profesional -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setahun Jokowi & 64 Tahun Prabowo

21 Oktober 2015   09:07 Diperbarui: 21 Oktober 2015   09:20 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yang pasti, perayaan ulang tahun Prabowo ke 64, tahun ini digeser ke 20 Oktober. Dalam pesta ultahnya, dimeriahkan dengan kehadiran para elite dan pendukung KMP (Koalisi Merah Putih) + kedatangan Ketua Umum Parati Demokrat bernama SBY.

Tidak jelas, kenapa peringatan ultah 17 Oktober itu diundur beberapa hari. Apakah agar bisa bareng dengan ultah Golkar, karena Golkar adalah penyokong KMP, atau karena Prabowo bagian dari slagorde dan alumnus Golkar pilar Orde Baoe Soeharto? Tidak tahu pasti. Hanya kalau ultah Prabowo dilaksanakan bareng ultah setahun Jokowi dilantik jadi presiden, agak aneh juga. Karena bisa dirasakan, betapa sakitnya tuh di sinih!

Jadi, sampai detik ini belum ketahuan, apa motivasi perayaan ultah Prabowo itu harus dibarengkan tanggal 20 Oktober. Apakah agar pas dengan turunnya 20 juta massa ke Jakarta, seperti disabdakan Bamsat kemarin, yang akan mengepung istana dan menurunkan Jokowi dari kursi kepresidenan?

Dalam sebuah perayaan ultah, sebagai kemarin teman saya merayakan ultah anaknya, selain niup lilin dan nyanyi-nyanyi, ada juga pemberian kado, hadiah, bagi yang ultah. Tapi karena usia 64 tahun bukan usia anak-anak, bagi Prabowo tidak ada pemberian kado. Ciri orang kaya, jika ultah bukan menerima tapi memberi kado. Justeru tampak dalam ultah Prabowo itu, Jokowilah yang mendapat kado, yakni berupa evaluasi setahun pemerintahan Jokowi. Padahal, dalam ultah itu, Jokowi tidak diundang dan tidak hadir.

Tentu saja tak hadir, karena Jokowi justeru pas menerima 50 wartawan cilik di istana, dan sibuk bertanya jawab. Meski 50 wartawan cilik itu bisa jadi bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan titipan. Entah siapa yang titip, mungkin orangtua, guru, para seniornya, yang pasti tampak tidak spontan dan otentik. Persis para wartawan professional yang mendapat titipan para juragannya. Semua tampak lucu-lucuan saja, meski kita juga tak tahu, apakah Jokowi sedang melakukan sindiran serius pada dunia pers, sebagaimana dulu Gus Dur pernah mengatakan parlemen kita seperti anak-anak TK. Itu sih suka-suka kita menafsir. Toh dunia menjadi murah meriah karena semua orang boleh menafsir, dan biasanya penafsir akademis yang pinter-pinter, akan menjajakan tafsirannya ke media-media.

"Tidak lagi harus ditanya kenapa Jokowi harus mundur dari jabatannya, realita yang ada di negeri ini cukup menjadi jawaban. Ekonomi, sosial dan politik sangat kacau balau semenjak Jokowi menjabat. Ini jelas karena ketidak mampuan seorang pemimpin negara,…" kata seorang mahasiswa Banten, yang berjanji membanjiri Jakarta kemarin dengan puluhan ribu temannya.

Apakah ajakan itu tak berkait dengan provokasi Bamsat? Tentu tidak, karena berbagai demonstrasi mahasiswa dan buruh di seluruh Indonesia kemarin, jika digabung-gabung jumlahnya, masih kalah dengan kehadiran para babotoh di GBK pada 18 Oktober. Bamsat hanya menambah koleksi para peramal gagal yang memastikan tanggal kejatuhan Jokowi. Dari Ki Gendeng Pamungkas, Permadi SH, Drs. Ridwan Saidi, Dr. Arbi Sanit, tak satupun ramalannya yang nembus.

Soal politik memang sering terasa menyeramkan, disamping menyebalkan. Apalagi jika referensi kita hanya media online, dan apalagi hanya twitter semata. Sama persis seperti memandang mikroba dengan mikroskop. Semua tampak besar, benderang, tetapi meleset sedikit sudah out of focus. Masalah peripheral atau kitarannya, selalu luput. Padahal kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hanya karena anggapan dan asumsi, apalagi anggapan dan asumsi yang tak pernah didialogkan. Lucu ‘kan, membayangkan orang-orang datang pada Jokowi, menyampaikan ucapan, “Selamat yah, udah setahun nih,…!”

Boro-boro.

Namun, disamping yang hendak menurunkan, tentu ada yang mendukung, membela, dan hendak mempertahankannya. Itu soal biasa dalam demokrasi. Meski sangat menyebalkan, karena semua pihak hanya omdo. Dan lebih menyebalkan lagi, para yang omdo begitu hobi menuding orang lain omdo juga. Bagaimana jika para omdo ini "sambung-menyambung menjadi satu"? Itulah Indonesia, kata sebuah lagu nasional kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun