Dalam promosi doktornya yang berjudul “Ideologi Politik dan Basis Sosial’ di Fisipol UGM, belum lama lalu (17/10), Arie Sujito mengatakan telah terjadi diskoneksi ideologi antara imajinasi elit politik dengan realitas sosial politik. Akibatnya, ideologi dasar yang semestinya dipegang oleh partai politik justru tak terpegang. Partai dinilainya cenderung pragmatis. Sementara tanpa ideologi politik, partai menjadi tak punya peranan apa-apa dalam demokratisasi.
Pendapat Prof. Heru Nugroho dan Doktor Arie Sujito, tentu hanya penting bagi mereka yang ingin melihat persoalan kita secara proporsional. Mengganti presiden (tanpa proses pemilu, atau secara tak langsung menolak hasil pemilu), memangnya mudah? Dan tidak mengundang masalah yang lebih brengsek? Atau itu memang yang dimaui?
Amatan Siswono Yudhohusodo di Kompas beberapa waktu lalu, yang mengatakan; ‘jika tak bisa membantu, lebih baik jangan menggangu’ terasa lebih arif. Sebagaimana sikap Andrinof Chaniago, Ketua Bappenas selama 10 bulan yang diganti oleh Jokowi, yang menolak menjadi pembicara dalam berbagai diskusi atau talkshow ‘Satu Tahun Jokowi’, karena menghargai hak prerogratif presiden menjalankan kebijaksanaan politiknya.
Menilai presiden Jokowi sebagai pribadi tentu tidak proporsional, karena kita tentu harus melihat Jokowi berada dalam yang disebut sistem kepresidenan, sistem pemerintahan, dan sistem politik itu sendiri. Tidak semudah cocote Mario Teguh, kata mereka yang tidak suka salam super sang motivator.
Bukan persoalan menjadi kritis atau tidak, melainkan menjadi proporsional itu persoalan kita. Dan hanya lebih suka menjadi klobot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H