Di tengah merosotnya daya beli dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tidak beranjak dari 5 persen, impian memiliki rumah kini semakin menuju sebatas impian saja.
Hal tersebut terutama dialami oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Harga rumah semakin tak masuk akal jika tidak lebih tepat disebut tak terjangkau.Â
Jangankan untuk memiliki rumah komersil yang memasang harga setinggi langit, untuk mampu menjangkau harga rumah subsidi saja masyarakat dibuat terjebak pada penawaran kemudahan, harga dan pembayaran yang cenderung ilusi.
Kecenderungan itu merupakan representasi dibalik ilusi harga rumah subsidi yang tampak terjangkau. Sesuatu yang tersembunyi dan bisa dibuktikan lewat kalkulasi secara keseluruhan betapa hitung-hitungan harga rumah subsidi sesungguhnya bisa menjadi membengkak. Â
Sebab faktanya memang begitu. Ada batas ilusi dibalik harga rumah subsidi yang tampak terjangkau. Lalu apa yang membuat rumah subsidi yang memberikan penawaran kemudahan segala persyaratan hanya ilusi?Â
Harga rumah subsidi sering kali ditawarkan dengan free booking  fee atau booking fee dengan nominal sangat terjangkau, DP (Down Payment) rendah, cicilan dengan bunga flat dan tenor yang dapat dipilih serta disesuaikan dengan kemampuan penghasilan atau gaji masyarakat berpenghasilan rendah.Â
Di proses itu, dengan segala kemudahan berkas persyaratan yang dijanjikan, sebagian besar masyarakat (konsumen) menilai bahwa rumah subsidi memang merupakan hunian yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.Â
Setidaknya, rumah subsidi dibuat agar mimpi masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa memiliki rumah dengan harga terjangkau dapat jadi kenyataan.Â
Namun, yang tidak banyak disadari, cenderung diabaikan atau pada akhirnya baru diketahui bahwa harga rumah subsidi hanya tampak terjangkau dalam batas ilusi.Â
Karena sebenarnya, dibalik harga rumah subsidi terdapat kesamaan yang tidak masuk akal dengan rumah-rumah komersil yang dijual dengan harga yang sulit dijangkau.Â