Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Sarung Hitam Polos Budayakan Fesyen Lebaran Sarungan

4 April 2024   11:52 Diperbarui: 4 April 2024   11:57 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi umat Islam laki-laki, menggunakan kain sarung umumnya hanya dikenakan  ketika menunaikan ibadah salat, karenanya tak ayal kata sarung identik dengan frasa sarung salat. 

Berbeda dengan para santri, kain sarung lebih sering dibiasakan dan dikenakan sepanjang waktu meskipun tidak  beribadah atau sedang berada di luar lingkungan pesantren. 

Namun dalam beberapa tahun terakhir, kain sarung secara perlahan mulai cenderung  jadi bagian dari fesyen umat Islam, terutama kaum laki-laki, seturut dengan jilbab yang telah ambil bagian dalam fesyen kaum perempuan muslim.  

Bila ditelusuri, ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kain sarung mulai digunakan sebagai fesyen walaupun tetap dalam konteks aktivitas ibadah. Hanya saja lebih luas cakupan, jangkauan dan momentumnya. Intensitas pemakaian pun lebih sering dan lebih lama. Berikut 3 (tiga) faktor yang memengaruhinya:

1. Munculnya kain sarung tanpa motif, yaitu kain sarung warna hitam polos, putih polos dan kain satu warna polos lainnya. Di titik ini, kain sarung seolah membuka jalur fesyen.

Ibarat kreasi kemunculan tahu bulat yang sama sekali berbeda dengan bentuk tahu yang pada umumnya kotak atau persegi, tahu bulat langsung meledak di pasaran. Seperti itu pulalah gejala yang tampak pada munculnya kain sarung warna polos. 

Seperti diketahui, kain sarung pada masanya cuma didominasi oleh motif kotak-kotak dan garis serta dikuasai oleh sekira tiga merek yang sudah ternama, yaitu Atlas, Gajah Duduk dan Mangga. 

Sedangkan kain sarung warna polos rasanya dimulai dengan kehadiran merek Shapphire dari Dutatex yang sekaligus menjadi perintis produsen kain sarung warna polos. Yang pada mulanya mampu menarik perhatian dan merebut pasar adalah jenis kain sarung hitam polos dan putih polosnya. 

Sejak itu beberapa merek mulai mengikuti jejak shappire, mengeluarkan produk kain sarung warna polos. Seperti Wadimor, Pohon Kurma, Atlas dan merek lainnya. Bersama para produsen, kain sarung hitam polos mulai tampak membudayakan fesyen lebaran sarungan di awal-awal kemunculannya sampai kemudian mulai digunakan pada banyak aktivitas lainnya.  

2. Kehadiran kain sarung warna polos tidak terlepas dari timbulnya cara mengaji umat Islam yang berbasis pada majelis-majelis dzikir dan/atau sholawat di bawah pimpinan para Habib. 

Majelis-majelis tersebut berhasil mengubah stigma pengajian yang awalnya cenderung mengatakan bahwa mengaji cuma untuk orang-orang berusia dewasa, paruh baya, usia lanjut dan para santri. Kini anak-anak muda, remaja hingga usia anak yang bukan kalangan santri mau ikut mengaji. Jumlah pengikut pengajian berbasis majelis dzikir dan/atau sholawat bahkan mencapai ribuan hingga jutaan. 

Di antara majelis yang menunjukkan massa umat pengajian dengan jumlah yang tidak sedikit ada Majelis Ta'lim  Habib Ali Al Habsyi Kwitang, majelis pertama di Tanah Air yang menjadi cikal bakal majelis Talim di seluruh Indonesia, didirikan oleh Habib Ali pada tahun 1889. Sebagai cikal bakal majelis, Majelis Ta'lim Habib Ali Al Habsyi Kwitang sudah memiliki jamaah dari berbagai pelosok Tanah Air. 

Tapi perkembangan majelis di bawah pimpinan para Habib baru menunjukkan geliat dan mengubah stigma tentang pengajian ketika Majelis Rasulullah yang didirikan oleh Habib Munzir Al Musawa pada tahun 1998 dan Majelis Nurul Musthofa yang didirikan oleh Habib Hasan bin Jafar Assegaf pada tahun 2000 serta berbagai majelis dzikir dan/atau sholawat lainnya berjalan dengan konsep kebaruan.  

3. Daya tarik keilmuwan dan kharisma Nabi Muhammad dari para Habib.

Keberadaan berbagai majelis dzikir dan/atau sholawat yang semakin banyak di seluruh penjuru Tanah Air tentu tidak bisa dipisahkan dengan para pendirinya, yang pada umumnya didirikan oleh para Habib. Sebuah gelar yang disandang atau disematkan kepada para pemuka agama keturunan Arab-Indonesia yang memiliki garis keturunan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. 

Daya tarik keilmuwan para Habib yang umumnya dipelajari di Hadramaut, Yaman, sebagai negara tempat awal hijrahnya garis keturunan Fatimah Az-Zahra dan Ali Bin Abi Thalib dari Basrah Irak. Asal mulanya terjadi pada masa Habib Umar bin Abdurrahman Al Athas Shobiburratib dari keturunan Ahmad al-Muhajir (820-924) (Arab: ahmad alabah), atau lengkapnya Al-Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. 

Bukan sekadar daya tarik keilmuwannya, para Habib yang notabene memiliki garis keturunan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam mempunyai kharisma yang mengantarkan umat lebih dekat sekaligus juga menjadi pembawa pesan syafaat dari Baginda Rasulullah.  

***

Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_al-Muhajir#:~:text=Ahmad%20al%2DMuhajir%20(820%2D,yang%20berasal%20dari%20Basrah%20Irak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun