Tantangan hari-hari kita ke depan bukan sekadar tentang pentingnya etika dalam penggunaan transportasi terkait konflik di transportasi umum yang sedang marak terjadi. Sebab beretika sudah sepatutnya diterapkan di manapun, kapanpun dan dalam aktivitas apapun.Â
Konflik adalah bagian dari kehidupan sosial yang tak bisa dibantah kehadirannya. Etika memang sangat penting dan berguna dalam mencegah dan meminimalisir terjadinya konflik. Tetapi kita tidak bisa berharap bahwa semua orang akan berkenan atau mampu menerapkan etika.Â
Kita harus menyadari bahwa orang-orang yang mempunyai sifat temperamental, perilaku agresif, sumbu pendek (mudah tersulut) atau orang-orang yang dalam kondisi emosi labil tidak bisa diharapkan untuk memiliki kesadaran atau kemampuan mengaktivasi tombol etikanya. Â
Maka ketika konflik di transportasi umum atau tempat-tempat umum terjadi, yang perlu diupayakan adalah cara menyikapinya, merespon dan bagaimana menyelesaikannya dengan bijaksana saat itu juga sehingga tidak menimbulkan konflik baru, berkelanjutan atau malah masuk ke jalur hukum.Â
Sisi lain yang perlu diperhatikan dan dipahami agar sebuah konflik bisa diselesaikan dengan baik tanpa menimbulkan konflik baru, berkelanjutan atau masuk jalur hukum adalah jangan segera mengumbar konflik ke media sosial! Pemberitahun tersebut ditujukan untuk semua, baik pihak yang berkonflik maupun orang-orang yang menyaksikan konflik.Â
Berikut alasan mengapa jangan segera mengumbar konflik di transformasi umum (tempat umum) ke media sosial:
1. Akar masalah terjadinya konflik belum diketahui dengan pasti sehingga siapa salah dan siapa benar belum bisa diukur hanya dengan apa yang dilihat, dibaca atau didengar saja. Informasi sebuah konflik yang diungkap ke media sosial bisa jadi baru dari satu sudut pandang saja.
2. Kekeliruan menilai siapa yang salah dan siapa yang benar bisa menimbulkan konflik baru dan berkelanjutan.Â
3. Konflik yang diumbar ke media sosial biasanya suka menimbulkan kegaduhan, pro dan kontra, menciptakan kubu pembela dan pencela, dan kadang memunculkan perburuan terhadap akun seseorang yang dianggap bersalah dalam konflik. Padahal kembali ke poin pertama tadi, siapa salah dan siapa benar belum dapat diketahui secara pasti.
4. Kubu pembela dan pencela yang tercipta kadang menjadi konflik baru dan berkelanjutan sampai fakta konflik yang terjadi sebenarnya menjadi bias. Bahkan tidak jarang menimbulkan perisakan atau perundungan dari warganet kepada salah satu pelaku konflik.
5. Perlu dicatat bahwa pada umumnya, yang melakukan posting kejadian konflik di transportasi umum (tempat umum) ke media sosial adalah saksi konflik bukan pelaku, karenanya meskipun penonton dapat menyaksikan kejadian sesuai aslinya tetap saja akar permasalahannya tidak bisa dinilai hanya dari apa yang disaksikan.Â
6. Beberapa kasus konflik di tempat umum yang diposting ke media sosial ternyata bisa menyeret orang yang melakukan posting atau orang yang merespon negatif kejadian tersebut ke meja hijau.Â
7. Konflik di transportasi umum (tempat umum) yang terjadi bisa saja telah selesai dipecahkan atau berhasil didamaikan, tetapi perpecahan dua kubu yang tercipta di media sosial justru semakin meruncing, meluas dan terus berseteru.Â
Intinya, bijaksanalah dalam menyikapi suatu konflik yang terjadi di tempat umum. Bila tidak memiliki kemampuan untuk membantu melerai, mendamaikan atau menyelesaikan, serahkanlah kepada petugas yang berwenang untuk menyelesaikannya tanpa harus menyebarkan konflik tersebut ke media sosial. Bukankah memposting suatu konten yang berhubungan dengan orang lain atau kasus konflik juga perlu etika? Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI