Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Music freak

Perempuan biasa yang suka musik, dolan, jajan, dan motoran. Sesekali motret sawah, gunung, dan lautan. Lalu berlari mencari matahari pagi hingga senja

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Wujud Cinta Budaya, Cahyo Manggolo Pentaskan Suminten Edan

25 Agustus 2025   09:21 Diperbarui: 25 Agustus 2025   10:59 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengrawit dan sinden. Dokpri.

Gunungkidul -- Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan kecintaannya pada budaya. Cinta budaya adalah ekspresi kesadaran, kebanggaan, sekaligus tindakan nyata untuk menjaga dan melestarikan warisan nenek moyang. Ia menjadi bentuk penghargaan terhadap identitas bangsa sekaligus upaya memastikan keberlangsungan budaya bagi generasi mendatang.

Hal inilah yang diwujudkan oleh Karang Taruna Dusun Pragak Bendorejo, Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Dengan penuh semangat, mereka mementaskan kesenian ketoprak yang dimainkan warga setempat, lengkap dengan iringan gamelan dari masyarakat dusun tersebut.

Ketoprak adalah seni drama tradisional Jawa yang menggabungkan unsur drama, tari, musik, dan sastra. Kesenian ini biasanya menampilkan kisah legenda, sejarah, maupun kehidupan masyarakat Jawa, dan diiringi gamelan. Di Yogyakarta, kesenian ini dikenal dengan nama Ketoprak Mataram---dahulu hanya dipentaskan di lingkungan keraton sebagai tontonan sakral, namun kini sudah menjadi hiburan rakyat.

Salah satu ciri khas ketoprak adalah keprak, yakni kentongan kayu yang dipukul oleh sutradara atau penata adegan setiap kali terjadi pergantian babak. Ritmenya disesuaikan dengan suasana adegan. Misalnya, ketika adegan perang, suara keprak akan dipukul lebih cepat dan keras.

 

Lakon Suminten Edan

Pada Sabtu (23/8/2025), paguyuban ketoprak gabungan Karang Taruna Cahyo Suminar dusun Bendorejo dan Manggala Bakti dusun Pragak, Cahyo Manggolo; mementaskan lakon legendaris Suminten Edan di halaman Balai Dusun Bendorejo. Pementasan menggunakan tobong atau tonil---lukisan realis sebagai latar yang menyesuaikan adegan di atas panggung.

Lakon Suminten Edan cukup populer di dunia ketoprak. Kisahnya tentang cinta segitiga antara Roro Suminten---putri Warok Secodarmo, Cempluk Warsiyah---putri Warok Suromenggolo, dan Subroto---putra Adipati Trenggalek yang tampan serta calon pengganti ayahandanya.

Cerita bermula saat Adipati Trenggalek hendak menjodohkan Subroto dengan Suminten sebagai balas budi atas jasa ayahnya. Namun Subroto menolak karena menganggap Suminten, gadis desa, kurang pantas menjadi pendamping calon adipati. Penolakan itu membuat Suminten sakit hati hingga jatuh dalam kegilaan.

Subroto kemudian jatuh cinta pada Cempluk Warsiyah, yang justru diincar Joko Gentho---putra Warok Surobangsat yang buruk rupa. Konflik pun berkembang, dari kisah cinta segitiga menjadi drama asmara empat tokoh dengan intrik yang penuh emosi.

Cempluk Warsiyah dan Joko Gentho. Dokpri.
Cempluk Warsiyah dan Joko Gentho. Dokpri.

Dari lakon ini, banyak nilai dapat dipetik. Misalnya, bagaimana peran perempuan di tengah budaya Jawa yang kental patriarki. Perempuan kerap hanya diposisikan sebagai kanca wingking---sekadar pendamping tanpa hak menentukan keputusan. Namun dalam kisah ini, perempuan juga ditampilkan sebagai simbol prestise pemimpin, dengan kecantikan, kecerdasan, dan kebijaksanaannya.

Selain itu, terlihat pula bagaimana pada masa lalu perempuan harus manut pada keputusan ayah atau suaminya, tanpa memiliki ruang menolak. Hal tersebut menimbulkan luka dan bahkan merenggut masa depan, sebagaimana dialami Suminten.

Dalam pementasan tersebut, para pemain dari paguyuban ketoprak Cahyo Manggolo berhasil menyihir penonton. Antusiasme masyarakat begitu tinggi hingga mereka enggan beranjak sejak awal hingga akhir pertunjukan. Bukan hanya menikmati hiburan, penonton juga merenungi nilai-nilai dari kisah yang disajikan.

Video lengkap dapat dilihat pada tautan Ketoprak Lakon Suminten Edan

Suasana semakin hidup dengan iringan gamelan yang gumyak, dimainkan langsung oleh warga Pragak Bendorejo. Penata Gamelan Sunardi dan keprak Rahno. 

Para pengrawit dan sinden. Dokpri.
Para pengrawit dan sinden. Dokpri.

Pementasan ketoprak ini digelar dalam rangka memeriahkan HUT ke-80 RI dan mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Turut hadir Ketua Kalurahan Mandiri Budaya Semanu, Maryanto, serta Pemerhati Budaya Muji Hartono. Pihak Kapanewon, Koramil, dan Polsek Semanu juga menyaksikan pementasan yang disutradarai oleh seniman Wardiyo Hadi Prayitno.

"Atas nami desa budaya, kula mongkok raos manah awit kalih padukuhan saged nglestantunaken budaya. Atas nama desa budaya, saya merasa sangat bangga karena kedua padukuhan dapat melestarikan budaya," ujar Maryanto, yang disambut tepuk tangan meriah penonton.

Dukungan Pemerintah. Dokpri.
Dukungan Pemerintah. Dokpri.

Semua pemain ketoprak adalah warga asli dusun Pragak dan Bendorejo. Suminten dimainkan oleh Tutik dan Cempluk Warsiyah dimainkan oleh Debby. Subroto dimainkan oleh Dukuh Bendorejo, Titon Handono dan Ibu Ratu oleh Qiroatun, Dukuh Pragak. PEmain lainnya adalah Ummi Azzura Wijana berperan sebagai Nyai Seco Darmo, ibunya Suminten mendampingi suaminya Secodarmo yang dimainkan oleh Waryoto Budi Santoso. Adipati Trenggalek diperankan Sagiman dan Patih oleh Panular. Joko Gentho oleh Karman dan juga Heri Kurniawan. Warok Suromenggolo diperankan Sujon dan Surahman memerankan Warok Suro Bangsat. Pemain lainnya adalah Poniran, Indriyani, Pujiyono, Jumari, Giyanto, Sunardi, Tupar, Sukis, dan Simin. 

Seluruh Pemain. Dokpri.
Seluruh Pemain. Dokpri.

Mereka menyiapkan perlengkapan, tata rias, dan perlengkapan panggung secara mandiri. Dukungan donatur pun hadir sebagai bentuk nyata kepedulian agar kesenian ini tetap hidup.

Pementasan ini bukan sekadar ajang unjuk diri, melainkan wujud cinta budaya. Tanpa kecintaan itu, sulit membayangkan paguyuban bisa menggelar pentas secara swadaya.

Sebab, jika bukan kita yang melestarikan budaya, siapa lagi? Jika bukan kita yang menjaga, generasi mendatang bisa kehilangan kesempatan mengenalnya.

Salam budaya. Lestari budayaku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun