Cerita ini cukup lama saya pendam. Bahkan tidak saya ceritakan kepada almarhum bapak saya. Namun, saya memang cerita dengan orang-orang yang dekat dengan saya walau tak banyak. Saya bahkan sempat terkejut ketika mantan guru saya yang setelah 8 tahun tidak bertemu, justru yang pertama kali ia ingat tentang saya adalah kisah itu. Apakah saya dulu juga sempat menceritakan kepada beliau atau beliau tahu dari orang lain, jujur saya lupa. Bahkan, ketika kemarin, saya tanya, kok bapak tahu? Ia bahkan mengucapkan kalimat yang saya merasa pernah mengucapkannya, bahwa tes keperawanan itu tidak mau saya lakukan karena saya ingin mempersembahkannya pertama kali untuk suami saya tercinta.
Ya, karena cerita lama ini tiba-tiba teringat kembali. Maka, ketika tengah melakukan sosialisasi di salah satu kelas 12 di sekolah tersebut saya kembali menceritakan alasan kenapa saya tidak lulus SPMB. Inti cerita adalah tentang pilihan hidup saya untuk tidak mau melakukan salah satu tes yang ada dan hal itu langsung membuat saya gugur dari harapan saya untuk melanjutkan sekolah di sekolah tinggi kedinasan yang saya inginkan. Namun, saya tidak pernah menyesal dengan keputusan saya. Meski agak berliku, namun saya mensyukuri segenap perjalanan hidup yang telah saya lalui. Bagi saya, semuanya begitu indah, layaknya sebuah syair di lagu sebuah grup band kenamaan Indonesia, yah... hidup ini indah....
Namun lucunya, selang 6 jam saya sosialisasi di kelas itu, ada telepon dari nomor tak dikenal masuk ke hp saya dan menyatakan sebagai perwakilan dari forum alumni institusi yang tidak jadi saya masuki itu. Usai bertanya seperti rangkaian kalimat yang saya tulis di awal, nada suara laki-laki itu langsung keras dan mengintimidasi seolah saya telah melakukan kesalahan tingkat tinggi. Laki-laki yang tidak mau menyebutkan nama ketika saya tanya itu menganggap bahwa saya dengan sengaja menyebutkan nama almamaternya dan menjelek-jelekkan almamaternya tersebut di depan publik. Meski kemudian saya jelaskan padanya bahwa yang saya ceritakan adalah pengalaman pribadi saya sendiri yang tidak bersedia mengikuti tes keperawanan, ia malah kembali marah-marah sembari berkata bahwa itu adalah hal biasa yang harus dilakukan oleh para peserta tes sekolah tinggi kedinasan. ”Memangnya Anda tidak tahu ada tes keperawanan? Seluruh sekolah tinggi kedinasan melakukannya!” Lugas saya jawab, saya memang tidak tahu sebelumnya. Saya baru tahu di hari saya mengikuti tes kesehatan itu. Ujung-ujungnya, saya dipaksa berjanji untuk tidak lagi menceritakan pengalaman pribadi saya itu kepada orang lain.
Entah berapa kali saya sudah menghembuskan nafas panjang sembari geleng-geleng kepala sendiri. Saya menganggap ini lucu karena saya merasa tidak melakukan yang ia tuduhkan kepada saya. Sampai detik ini saya tidak tahu siapa orang yang telah selama 7 menit itu berteriak-teriak di hp saya dan menyebabkan saya tidak bisa tidur sekarang. Namun, karena itu juga saya jadi bisa menuliskan ini untuk berbagi kisah dengan yang lain. Kisah ini adalah bentuk protes saya tentang adanya tes keperawanan yang saya anggap tidak ada relevansinya sama sekali untuk sekedar melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi meski dengan embel-embel kedinasan. Apa relevansinya tes keperawanan di rangkaian tes kesehatan untuk alih-alih sebagai persyaratan masuk ke sekolah tinggi kedinasan dengan dunia pendidikan yang akan gadis itu jalani nantinya?
Dan kisah ini juga sebagai bentuk respon saya atas intimidasi yang telah saya terima dari orang yang hipersensitif jikalau institusinya dijadikan bahan cerita bahkan meski inti cerita sesungguhnya bukan tentang institusinya. Apakah sebuah cerita yang bahkan telah hampir 8 tahun berlalu masih dirasa sebagai sebuah ancaman yang akan memperburuk citra institusinya? Yah, karena tanpa harus saya ceritakan pun semua orang sesungguhnya pasti sudah tahu tentang bagaimana citra institusinya saat ini.
Oleh: Sumarni Bayu Anita, S.Sos
14 Januari 2010, pukul 04:15 WIB
Catatan: Lokasi dan nama-nama institusi sengaja tidak disebutkan untuk menghindari telepon intimidasi lanjutan.